Komisi VI Desak Reformasi Tata Niaga Timah: Kita Punya Tambang, Tetapi Tak Punya Kuasa!
- Mei 20, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Erma Rini menyoroti buruknya tata kelola dan tata niaga komoditas timah nasional yang berujung pada kerugian besar bagi Indonesia di pasar global. Isu ini menjadi sorotannya lantaran adanya kasus korupsi tata niaga timah yang berpotensi membuat Indonesia rugi hingga mencapai Rp300 triliun, yang mana Rp 271 triliun di antaranya merupakan kerugian akibat kerusakan lingkungan.
Demikian hal ini menjadi pembahasan dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dengan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia Isy Karim, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Tirta Karma Sanjaya dan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Timah Harwendro Adityo Dewanto di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (19/5/2025).
“Indonesia adalah negara penghasil timah terbesar ketiga di dunia, tapi kita tidak punya kuasa menentukan harga. Bahkan pasokan terbesar timah justru diakui berasal dari Malaysia dan Singapura — negara yang cadangan tambangnya jauh di bawah kita, malah diakui oleh dunia internasional,” ungkap Anggia saat memimpin agenda tersebut.
Baginya, fenomena ini mencerminkan keprihatinan mendalam Komisi VI DPR RI atas lemahnya regulasi dan pengawasan dalam industri timah nasional. Indonesia yang memiliki cadangan timah besar, jelasnya, terutama di Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Kalimantan, malah justru terpinggirkan dalam penentuan harga global.
“Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga soal citra dan kedaulatan. Timah ilegal masuk ke rantai pasok tanpa bisa dideteksi, lalu diselundupkan ke luar negeri. Negara dirugikan dua kali: dari sisi penerimaan dan dari sisi reputasi,” paparnya.
Tidak henti, Anggia menerangkan Komisi VI DPR RI juga menyoroti sebagian besar penambang ilegal berasal dari masyarakat lokal yang tidak memiliki akses legalitas maupun perlindungan kerja. Oleh karena itu, ia menyarankan pengelolaan melalui koperasi rakyat atau BUMDes sebagai jalan keluar yang lebih terorganisir dan adil.
Dukungan Legislasi
Anggia menyayangkan fakta bahwa negara dengan tambang besar seperti Indonesia justru tidak menjadi penentu harga. “Kita punya barangnya, tapi tidak punya suara. Kita hanya menyaksikan kekayaan kita diakui oleh negara lain. Ini bukan sekadar ironis, ini memalukan,” ungkapnya.
Sebagai langkah konkret, Komisi VI DPR RI, ucap Anggia, mendukung penuh penerbitan Peraturan Presiden tentang mineral kritis dan strategis. Dirinya juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi semua regulasi yang mengatur proses bisnis komoditas timah, guna mendorong tata kelola yang profesional, transparan, dan akuntabel.
“Kita bukan sekadar menambang dan menjual. Kita harus bisa mengelola, mengawasi, dan menentukan harga. Kalau tidak, kita hanya jadi penonton yang merugi,” tegasnya.
Menutup pernyataan, Politisi Fraksi PKB itu berharap momentum penting ini bisa menggeser paradigma pengelolaan sumber daya nasional. Baginya, tata kelola timah tidak hanya sekadar eksploitasi, akan tetapi harus menuju pengelolaan berbasis kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial. Maka dari itu, Komisi VI berkomitmen mengawal reformasi menyeluruh pada sektor strategis ini agar timah — sebagai salah satu kekayaan mineral Indonesia — tidak lagi jadi ironi nasional.
“Harus ada perubahan menyeluruh. Kita bukan hanya penghasil, kita harus menjadi penentu. Indonesia harus punya muka di pasar global,” tutup Anggia. •um/rdn