Peraturan Barantin Dikritik HIMKI, Slamet Dorong Dialog dan Revisi
- Mei 19, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI Slamet, menanggapi penolakan yang disampaikan oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) terhadap Peraturan Badan Karantina Indonesia (Barantin) Nomor 5 Tahun 2025, yang merupakan perubahan atas Peraturan Barantin Nomor 1 Tahun 2024.
Politisi Fraksi PKS ini menegaskan bahwa implementasi kebijakan karantina harus dilakukan secara bijak, efisien, dan tidak membebani pelaku usaha, apalagi UMKM yang menjadi tulang punggung industri kerajinan dan mebel nasional.
“Yang perlu segera diperbaiki adalah sistem pengujian dan sertifikasi karantina itu sendiri. Proses karantina harus dilakukan secara cepat dan tepat agar tidak mengganggu jadwal pengiriman barang ke luar negeri,” tegas Slamet dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria, di Jakarta, Kamis (15/5/2025).
Slamet juga menyarankan adanya forum dialog yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk asosiasi industri, pelaku usaha, serta kementerian dan lembaga terkait, guna memastikan kebijakan yang diambil bersifat sinkron dan tidak saling bertentangan.
“Saya mendorong agar penyusunan peraturan ke depan melibatkan partisipasi publik yang luas, termasuk dengan berkonsultasi bersama Komisi IV DPR RI,” ungkap Politisi Fraksi PKS ini.
Ia menilai, peran Badan Karantina Indonesia sebagai lembaga baru dalam sistem ekspor-impor nasional juga perlu didukung.
“Keberadaan Barantin sangat penting dalam memastikan kepatuhan Indonesia terhadap standar internasional, khususnya International Standards for Phytosanitary Measures (ISPM), termasuk ISPM No. 15 yang mengatur perlakuan dan penandaan kemasan kayu dalam perdagangan global,” jelas Slamet.
Sebelumnya, HIMKI menilai bahwa peraturan ini berpotensi memberikan dampak serius terhadap keberlanjutan industri mebel dan kerajinan nasional. Pasalnya, hal itu berpotensi pada meningkatnya biaya produksi akibat kewajiban sertifikasi karantina terhadap produk jadi, gangguan logistik ekspor, dan ancaman terhadap daya saing industri nasional di pasar global.
Anggota DPR RI dapil Kota dan Kabupaten Sukabumi ini menilai bahwa desakan HIMKI untuk menunda implementasi peraturan ini sangat rasional, mengingat urgensi untuk melakukan revisi bersama para pemangku kepentingan industri.
“Mendukung sepenuhnya adanya pengecualian terhadap produk jadi dari kewajiban pemeriksaan fisik karantina, serta perlunya penyusunan regulasi yang lebih mendukung kemudahan ekspor. Untuk mendukung pelaku UMKM, Slamet mendorong agar pemerintah memberikan insentif pendanaan guna menanggung biaya pengujian karantina yang sering kali memberatkan,” terang Slamet.
Di akhir, Slamet menegaskan pentingnya keseimbangan antara perlindungan terhadap standar kesehatan tumbuhan dan kelancaran aktivitas ekspor yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. •hal/rdn