18 May 2025
Politik dan Keamanan

MK Gelar Sidang Lanjutan Uji UU Ekstradisi dan UU Bantuan Timbal Balik, DPR Tegaskan Peran Menteri Hukum

  • Mei 16, 2025
  • 0

Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, sebagai kuasa dan memberikan keterangan resmi pada sidang lanjutan pengujian UU Ekstradisi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana Kamis (15/5/2025). Foto: Farhan/vel.
Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, sebagai kuasa dan memberikan keterangan resmi pada sidang lanjutan pengujian UU Ekstradisi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana Kamis (15/5/2025). Foto: Farhan/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Pada Kamis (15/5/2025), sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (UU Ekstradisi) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (UU Bantuan Timbal Balik kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.

Dalam perkara nomor 180/PUU-XXII/2024, permohonan uji materi tersebut terdaftar  diajukan oleh lima orang jaksa: Olivia Sembiring, Ariawan Agustiartono, Rudi Pradisetia Sudiradja, Muh. Ibnu Fajar Rahim, dan Yan Aswarih. Para pemohon mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU Ekstradisi yang dinilai mengandung potensi konflik kepentingan antar lembaga serta ketidakjelasan prosedur administratif dalam penanganan ekstradisi.

Dalam persidangan, DPR RI diwakili oleh Abdullah, Anggota Komisi III DPR RI, hadir sebagai kuasa dan memberikan keterangan resmi mewakili lembaga legislatif tersebut. “Pimpinan DPR RI menguasakan kepada kuasa DPR hadir dalam persidangan tersebut kepada Abdullah nomor Anggota A33 bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk selanjutnya disebut DPR RI. Sehubungan dengan Surat MK nomor 181.180 garis miring PUU/PAN.MK/PS/05/2025 Tertanggal 6 Mei 2025 perihal panggilan sidang kepada DPR RI untuk menghadiri dan menyampaikan keterangan di persidangan MK,” ujarnya.

Lebih lanjut, Abdullah dalam salah satu poin pandangan umum DPR RI menyampaikan bahwa permohonan para pemohon berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) serta kompetisi antar lembaga. Oleh karena itu, Abdullah menilai Central Authority dalam ekstradisi dan timbal balik dalam masalah pidana di Indonesia sebaiknya diserahkan tetap melalui Menteri Hukum.

Tak hanya itu, Abdullah menegaskan DPR RI dalam petitumnya menyampaikan enam poin penting, diantaranya pertama ‘Memohon agar permohonan para pemohon dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memiliki legal standing’. Kedua, ‘Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidaknya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima’.

Ketiga, ‘Meminta MK menerima seluruh keterangan DPR RI’. Lalu keempat ‘Menyatakan bahwa pasal-pasal yang diuji dalam UU Ekstradisi tetap konstitusional dan memiliki kekuatan hukum mengikat’. Kemudian kelima, ‘Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 10 dalam UU Bantuan Timbal Balik juga tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945’ dan keenam ‘Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia’.

Usai sidang dalam wawancara bersama Parlementaria, Abdullah menyampaikan bahwa pengaturan ekstradisi yang saat ini berlaku telah ditetapkan sejak lama dan merupakan hasil keputusan bersama DPR. Ia juga menilai bahwa pihak Kejaksaan tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan tersebut, mengingat struktur Kementerian pun sudah mengalami perubahan sejak undang-undang itu diberlakukan.

“UU ini memang sudah diatur sejak lama. Kalau teman-teman DPR merasa perlu ada perubahan, ya kita bicarakan bersama. Tapi sejauh ini, posisinya tetap seperti yang sudah diatur dalam UU, di bawah Kementerian Kehakiman—meskipun nomenklaturnya sekarang sudah berubah,” ujarnya.

Sidang uji materi ini masih akan berlanjut dengan mendengarkan keterangan dari pihak Presiden serta pemohon. Putusan akhir akan ditentukan oleh Majelis Hakim Konstitusi setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan pertimbangan. •pun/aha

EMedia DPR RI