Edy Wuryanto Soroti Kasus KLB Akibat Pangan Siap Saji, Dorong BPOM Perkuat Pengawasan
- Mei 16, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyoroti maraknya kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di berbagai daerah sebagai cerminan lemahnya pengawasan terhadap keamanan pangan, khususnya makanan siap saji. Dalam rapat kerja bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Edy menegaskan bahwa sinergi antar instansi harus diperkuat untuk mencegah kejadian serupa terulang.
“Apapun yang terjadi, kita harus prihatin dengan 17 kasus KLB di 10 provinsi. Ini bentuk bahwa kita masih belum optimal dalam konteks keamanan pangan,” ujar Edy dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IX dengan Kepala Badan POM RI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (15/5/2025).
Ia mengkritisi kerjasama antara BPOM dan Badan Gizi Nasional (BGN) yang dinilai belum maksimal, padahal regulasi sudah memberikan dasar hukum yang kuat, seperti tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.
“Dalam PP 86/2019 Pasal 47, pangan olahan siap saji itu menjadi urusan pertama Menkes, kedua Kepala Badan, dan ketiga Bupati/Wali Kota sesuai kewenangannya. Tapi faktanya, Menkes tidak punya infrastruktur sampai ke daerah, dan jika pemerintah daerah tidak menjalankan fungsi dekonsentrasi, maka pengawasan ini jadi lemah,” jelas Edy.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap dapur-dapur penyedia makanan dalam program bantuan gizi nasional (BGN), khususnya di Kota Depok. Menurutnya, BPOM memiliki otoritas untuk mengawasi seluruh proses dari produksi, penyimpanan, hingga distribusi pangan.
“Bapak punya otoritas dan kuat untuk melakukan pengawasan pada seluruh STTD (Sentra Tata Boga Terpadu) yang dibangun. Ketika BGN memberi izin, Depok harus dilibatkan dalam proses itu. Semua standar—gedung, lantai, dapur, alat makan, penyimpanan makanan—harus dicek. Kalau tidak, lalu terjadi keracunan, siapa yang bertanggung jawab?” tegas Edy.
Ia menegaskan pentingnya keberanian BPOM dalam menggunakan kewenangannya, termasuk mengambil langkah strategis hingga menutup dapur yang tidak memenuhi standar. Hal ini penting mengingat makanan tersebut dikonsumsi ribuan orang setiap hari.
“Apakah karena ketakutan sesama lembaga negara? Enggak mungkin begitu. Ini menyangkut 3.000 orang setiap hari. Kalau Bapak tidak gunakan kewenangan ini, publik bisa kehilangan kepercayaan,” katanya.
Edy juga menyoroti persoalan anggaran yang mungkin menjadi kendala BPOM dalam melakukan pengawasan menyeluruh. Ia mendorong agar persoalan tersebut dibahas bersama Komisi IX DPR RI agar ada penambahan anggaran dalam evaluasi program BGN dan MBG (Makan Bergizi).
“Kalau memang anggarannya tidak cukup untuk mengawasi 30.000 dapur, ya disampaikan saja ke Komisi IX. Kita bisa dorong penambahan anggaran agar pengawasan lebih maksimal,” pungkas Edy. •gal/aha