Retaknya Hubungan Trump-Netanyahu Bisa Jadi Momentum bagi Kemerdekaan Palestina
- Mei 13, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Delegasi Grup Kerja Sama Bilateral (GKSB) DPR RI untuk Palestina, Syahrul Aidi Maazat, menilai kabar keretakan hubungan antara mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bisa menjadi angin segar bagi perjuangan kemerdekaan Palestina. Hal tersebut disampaikan Syahrul di sela 13th Meeting of the Permanent Committee on Palestine dalam Konferensi ke-19 Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (12/5/2025).
Syahrul menyebut dinamika hubungan politik antara dua tokoh besar tersebut dapat membuka ruang diplomatik baru yang bisa dimanfaatkan oleh dunia internasional, termasuk negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), untuk memperkuat tekanan terhadap Israel dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
“Mudah-mudahan itu menjadi kebaikan. Kita mendengar kemarin di media bahwa Trump dan Netanyahu ini sedang ada clash. Kita harap mudah-mudahan ini positif bagi Palestina, ada momentum,” ujarnya pada Parlementaria.
Ia mencontohkan bagaimana momentum global dapat berkontribusi pada kemerdekaan sebuah bangsa, merujuk pada sejarah kemerdekaan Indonesia saat terjadi Perang Dunia II. “Kalau kita lihat kemerdekaan itu terjadi ketika ada momentum. Indonesia dulu bisa merdeka saat Jepang diserang oleh Amerika. Jepang yang saat itu menjajah kita akhirnya melemah, dan kita punya kesempatan untuk memproklamirkan kemerdekaan,” jelas Politisi Fraksi PKS ini.
Melihat situasi geopolitik saat ini, Syahrul menyampaikan optimismenya bahwa Palestina akan mencapai kemerdekaannya. Ia juga menekankan peran penting Indonesia dalam perjuangan ini.
“Kita punya optimisme besar bahwa Palestina bisa merdeka. Dan saham Indonesia dalam perjuangan ini cukup besar. Kita bangga dengan sikap pemerintah Indonesia, terutama di era Presiden Prabowo. Beliau telah menunjukkan posisi kuat, baik secara langsung maupun melalui Menteri Luar Negeri,” tuturnya.
Syahrul juga mengingatkan bahwa dari seluruh negara peserta Konferensi Asia-Afrika yang bersejarah di Bandung pada 1955, hanya Palestina yang hingga kini belum merdeka. “Ini penting untuk diingat. Palestina adalah satu-satunya negara peserta Konferensi Asia-Afrika yang belum merdeka. Maka sudah seharusnya negara-negara yang dulu bersolidaritas dalam forum itu kembali menguatkan dukungan mereka bagi Palestina,” tutupnya.
SPIRIT KAA 1955
Di kesempatan berbeda, Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani menilai, kehadiran para pemimpin parlemen dari berbagai kawasan dunia, termasuk negara-negara ASEAN seperti Malaysia, menjadi pertanda positif keberhasilan gelaran PUIC di Indonesia.
“PUIC 2025 akan menjadi forum lintas batas yang mengarah pada diplomasi berbasis solusi, bukan sekadar seremonial,” jelas cucu Bung Karno tersebut.
“Lewat PUIC, kita akan membangun panggung kepemimpinan untuk menyatukan suara, memperkuat solidaritas, dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana telah diletakkan oleh para pendiri bangsa dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) dulu,” imbuh Puan.
Puan pun menekankan pentingnya momen PUIC ini karena berdekatan dengan peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Bandung, Jawa Barat pada 18 April 2025 lalu.
Menurut mantan Menko PMK ini, perhelatan PUIC 2025 akan menjadi kelanjutan dari semangat Bandung yang mengilhami perjuangan negara-negara Asia dan Afrika dalam menegakkan kedaulatan, keadilan, dan kerja sama yang setara. Oleh karenanya, Puan meminta dukungan masyarakat untuk turut menyukseskan perhelatan PUIC.
“Spirit Bandung tidak berhenti di tahun 1955. Tahun 2025 adalah saat yang tepat bagi kita untuk menghidupkan kembali semangat solidaritas global Selatan-Selatan dan PUIC adalah panggung strategis untuk itu,” ungkapnya. •we,hal/rdn