Johan Rosihan Tekankan Nilai Ekologi dan Keadilan Sosial dalam Revisi UU Kehutanan
- Mei 12, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Sleman – Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menyampaikan sejumlah pandangan strategis dalam kegiatan penjaringan pendapat penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam forum yang melibatkan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, Johan menekankan pentingnya memasukkan nilai-nilai ekologi dan keadilan sosial dalam revisi undang-undang tersebut.
Dalam kegiatan yang digelar Panitia Kerja (Panja) RUU Kehutanan ini, Johan menyoroti absennya ketentuan yang memuat prinsip daya dukung lingkungan, seperti ketentuan lama soal batas minimum 30 persen tutupan hutan dalam suatu wilayah.
“Saya sempat menyampaikan ke kementerian agar kita menghidupkan kembali angka 30 persen ini. Tapi saya ditegur bahwa itu harus mengubah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Saya coba diskusi dengan pakar-pakar legal drafting, dan saya dapat dua opsi, salah satunya menghidupkan ruhnya, bukan angkanya, melalui diksi minimal tidak di bawah daya dukung ekologi,” ujar Johan dalam Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspek) Komisi IV DPR ke Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (8/5/2025).
Johan juga menegaskan bahwa paradigma pengelolaan hutan Indonesia perlu mengalami pergeseran fundamental. Menurutnya, pengelolaan hutan tidak cukup hanya menggunakan pendekatan berbasis kayu dan izin usaha, melainkan harus mencakup jasa lingkungan seperti karbon dan air.
“Saya pikir, revisi ini harus melampaui paradigma kayu. Kita sudah harus masuk ke nilai karbon dan jasa ekosistem lainnya,” tegas Johan.
Menyoroti masukan dari para akademisi, Johan membandingkan proses penyusunan RUU Kehutanan ini dengan pengalamannya saat terlibat dalam revisi Undang-Undang Kelautan.
“Waktu itu kami hanya ingin menambahkan satu pasal soal Badan Keamanan Laut (Bakamla), tapi setelah mendengar para pakar, justru undang-undang itu berkembang jauh karena kondisi kerusakan laut kita yang parah. Saya khawatir, kalau kita batasi revisi ini hanya dari sisi sempit, kita kehilangan momentum untuk pembaruan total sistem kehutanan,” jelasnya.
Ia pun membuka kemungkinan bahwa revisi ini bisa bertransformasi menjadi penyusunan undang-undang baru apabila substansinya berkembang melebihi 60 persen. “Kalau ruhnya kita ubah dan substansinya bertambah signifikan, mungkin ini bukan sekadar revisi, tapi undang-undang baru,” ujar politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Isu penguatan kelembagaan hutan adat juga menjadi sorotan Johan. Ia mengingatkan bahwa penetapan hutan adat melalui Peraturan Daerah kerap kali tidak lepas dari tarik-menarik kepentingan politik di daerah.
“Kalau kita sadar kepada perda, politisnya sangat kuat. Politik daerah itu jauh lebih keras dibanding pusat, ruangnya sempit, tarik-menariknya sangat kuat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Johan menekankan perlunya kebijakan yang melindungi keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat tapak/lapangan. Menurutnya, ada kekhawatiran terhadap rencana beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) yang ingin menggabungkan atau menghapus KPH yang telah berjalan.
“KPH di kampung saya di Sumbawa dari semula 14 sekarang mau dijadikan hanya 7. Bahkan satu pulau hanya satu KPH. Kita perlu moratorium atas intervensi terhadap kelembagaan KPH sambil menunggu revisi UU ini,” tegasnya.
Sejumlah poin seperti pengakuan hukum terhadap hutan adat, penataan status kawasan hutan, dan penguatan inventarisasi kehutanan berbasis digital menjadi isu krusial yang terus didalami. Johan menyambut baik hal tersebut dan mendorong agar semua masukan tidak hanya berhenti pada tingkat diskusi, tetapi benar-benar diakomodasi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan draf final RUU.
“Forum seperti ini penting bukan hanya untuk mendengarkan, tetapi juga untuk memperbaiki arah kebijakan kehutanan kita ke depan. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan lama yang meminggirkan rakyat dan merusak lingkungan,” pungkas Johan. •ica/rdn