Revisi KUHAP Diupayakan Jamin Kesetaraan Hukum antara Negara dan Warga
- Mei 8, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan dari Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN), Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), dan pakar hukum Heru S. Notonegoro, untuk menyerap masukan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas di Ruang Rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menekankan pentingnya revisi KUHAP untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih adil dan berimbang antara negara dan warga negara. Ia menyoroti ketimpangan sumber daya antara aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan.
“KUHAP ini sejatinya mengatur proses penyelesaian hukum antara negara yang punya kekuasaan sangat besar dengan warga negara yang selama ini lemah. Advokat sering menghadapi negara dengan segala sumber dayanya, sedangkan mereka berjuang sendiri, tanpa dukungan struktural,” ujar Habiburokhman dalam rapat tersebut.
Sebagai informasi, KUHAP saat ini mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, yang sudah berusia lebih dari 40 tahun. Banyak kalangan menilai undang-undang tersebut sudah tidak relevan dengan tantangan hukum modern, termasuk dalam aspek perlindungan hak asasi manusia, peran advokat, dan mekanisme penahanan.
Habiburokhman juga mencontohkan beberapa kasus di mana tahanan meninggal dunia karena kondisi penahanan yang buruk, menandakan pentingnya pembaruan hukum acara pidana agar tidak terus “memakan korban”.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Bob Hasan menekankan pentingnya aspek check and balance dalam sistem peradilan pidana. Ia menyoroti peran Kejaksaan dan Kepolisian yang masih belum sepenuhnya mampu menjalankan fungsi korektif secara seimbang, sehingga peran advokat harus diperkuat sebagai penyeimbang.
“Keadaan korektif itu tidak bisa hanya diserahkan pada Kejaksaan dan Kepolisian. Harus ada kesadaran sektoral agar fungsi penyelidikan dan penuntutan tidak berubah menjadi alat penghukuman sebelum proses pengadilan berjalan,” kata Bob Hasan.
Dalam masukan dari organisasi advokat, dibahas pula mengenai pentingnya kejelasan posisi advokat dalam proses hukum, terutama dalam menjamin hak-hak tersangka selama penahanan dan penyidikan. Usulan agar advokat diberi peran lebih aktif dalam menjamin proses hukum yang adil mendapat tanggapan positif dari Komisi III.
Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat lebih dari 200 kasus di mana tersangka mengalami pelanggaran hak selama proses penyidikan, termasuk kekerasan fisik dan penahanan yang tidak proporsional. Hal ini memperkuat urgensi revisi KUHAP yang sedang dibahas DPR.
Rapat menandakan komitmen Komisi III untuk terus membuka ruang dialog dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi advokat dan akademisi, agar RUU KUHAP yang baru mampu menghadirkan keadilan yang substantif bagi seluruh rakyat Indonesia. •ssb/aha