Pansus RUU Pengelolaan Ruang Udara, Soroti Isu Teknologi dan Kedaulatan
- Mei 8, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta — Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Ruang Udara menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan dua pakar: Prof. Sakti Adisasmita dan Dr. Wahyudi Hasbi, di Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (6/5/2025) guna memperdalam masukan terhadap substansi RUU tersebut. Rapat ini menyoroti kebutuhan mendesak akan penguatan peran negara dalam menjaga dan mengelola ruang udara nasional di tengah kompleksitas geopolitik dan perkembangan teknologi penerbangan yang pesat.
Wakil Ketua Pansus, Amelia Anggraini, menekankan pentingnya integrasi kebijakan antar sektor — komersial, pertahanan, dan keselamatan penerbangan. “RUU ini harus menjamin keselamatan ruang udara nasional termasuk wilayah terluar, dan mampu menjawab tantangan teknologi dan dinamika geopolitik global,” ujarnya.
Anggota Pansus, Habib Idrus Salim Aljufri, menggarisbawahi luasnya ruang udara Indonesia yang mencapai 7.789.000 km², lebih luas dari wilayah perairan nasional. Ia menilai, Indonesia selama ini terlalu bergantung pada sistem navigasi laut seperti Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), tanpa pengawasan sonar atau sistem pertahanan ruang udara yang memadai. “Bayangkan jika teknologi drone nirawak yang tidak terdeteksi radar semakin berkembang. Tanpa sistem pengawasan dan pertahanan ruang udara yang canggih, kita akan tertinggal,” ujarnya.
Para anggota Pansus juga menyoroti pentingnya antisipasi terhadap perkembangan teknologi masa depan. Salah satu anggota meminta para pakar memberikan proyeksi teknologi pengawasan udara ke depan agar RUU ini tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam merespons evolusi teknologi seperti drone, satelit pengintai, dan kecerdasan buatan (AI).
Prof. Sakti dan Dr. Wahyudi, dalam paparannya, menyarankan agar Indonesia mengadopsi sistem pengelolaan ruang udara berbasis teknologi tinggi seperti Airspace Management System (AMS) dan memperkuat kerja sama regional dengan negara-negara ASEAN untuk menghindari konflik wilayah udara. Mereka juga menekankan pentingnya regulasi yang fleksibel namun kuat dalam menghadapi kemunculan teknologi disruptif.
Rapat ditutup dengan apresiasi dari pimpinan Pansus atas kontribusi para pakar, dan menyatakan bahwa masukan yang diberikan akan menjadi bahan pertimbangan penting dalam penyempurnaan naskah akademik dan pasal-pasal RUU. “Undang-undang ini harus memproyeksikan masa depan ruang udara Indonesia, bukan hanya menjawab kebutuhan saat ini,” tutup Amelia Anggreaini. •ssb/aha