18 May 2025
Politik dan Keamanan

Tampung Aspirasi Masyarakat Sipil Terkait Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban

  • Mei 5, 2025
  • 0

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Andreas Hugo Pareira, saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR RI, Rabu (30/4/2025). Foto: Runi/vel.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Andreas Hugo Pareira, saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR RI, Rabu (30/4/2025). Foto: Runi/vel.

PARLEMENTARIA, Jakarta – Komisi XIII DPR RI mengapresiasi masukan yang disampaikan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil terkait rencana perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU LPSK). Apresiasi ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar pada Rabu (30/4/2025) di Gedung DPR RI, Jakarta.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menyampaikan apresiasi atas laporan dan masukan konstruktif yang diberikan oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Perkumpulan Pembaharuan Hukum Masyarakat (HUMA), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 

Ia berharap RUU LPSK yang lahir sebagai salah satu tonggak reformasi hukum  mampu memberikan perlindungan yang optimal bagi saksi dan korban.

“Selama dua dekade terakhir, Andreas menyoroti kurangnya popularitas LPSK di masyarakat dibandingkan dengan organisasi masyarakat sipil lainnya. Ia berharap revisi UU ini dapat meningkatkan citra dan efektivitas LPSK dalam memberikan advokasi yang cekatan dan terhindar dari jeratan birokrasi,” jelasnya. 

Disampaikan Andreas, pihaknya (Komisi XIII) akan menindaklanjuti dengan melakukan penyelarasan yang komprehensif untuk menilai relevansi dan urgensi masukan yang disampaikan dalam RDPU hari ini. 

“Penyelarasan ini akan mencakup penguatan kelembagaan LPSK serta substansi pokok materi dan pasal per pasal dalam perubahan kedua UU tersebut. Pihaknya juga membuka kesempatan bagi organisasi masyarakat sipil untuk menyampaikan masukan tertulis kepada Sekretariat Komisi XIII DPR RI,” ujarnya. 

Senada dengan Andreas, Anggota Komisi III DPR RI, Anwar Sadat, menekankan bahwa LPSK merupakan “anak kandung reformasi” yang putusan dan rekomendasinya seharusnya mengikat penegak hukum, layaknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). 

Menurutnya, dukungan politik yang kuat sangat dibutuhkan agar LPSK dapat menjalankan fungsinya secara jelas dan bersih dalam memberikan perlindungan yang didukung oleh negara.

“Penguatan lembaga ini diharapkan dapat memastikan bahwa seluruh rekomendasi, putusan, dan pandangan LPSK memiliki kekuatan mengikat sehingga dapat menekan penegak hukum,” katanya. 

Direktur LBH APIK, Uli Arta Pangaribuan, dalam kesempatan tersebut menyampaikan data bahwa pihaknya telah menerima 3.410 kasus sejak tahun 2022 hingga 2024. Ia menekankan perlunya penguatan fungsi dan peran LPSK sebagai lembaga independen dalam memenuhi hak-hak saksi dan korban.

Uli Arta juga menyoroti bahwa revisi UU LPSK harus berorientasi pada perlindungan yang berbasis pada kebutuhan, kondisi, dan realitas saksi dan korban, terutama dalam kasus-kasus kekerasan berbasis gender (KBG). 

Partisipasi publik yang bermakna, terutama kelompok-kelompok yang menjadi subjek hukum dalam RUU LPSK, juga dianggap sentral. Lebih lanjut, LBH APIK mengusulkan redefinisi konsep perlindungan yang tidak hanya terbatas pada sistem peradilan pidana, melainkan juga harus cepat, mudah diakses, dan tidak memberatkan bagi perempuan korban atau saksi.

Pihaknya  juga mengusulkan agar kekerasan berbasis gender diakui sebagai salah satu tindak pidana prioritas dalam UU LPSK, mengingat karakteristiknya yang dipengaruhi gender dan relasi kuasa serta dampaknya yang signifikan terhadap perempuan.

Terkait subjek perlindungan, LBH APIK mengusulkan perluasan definisi perlindungan. Perlindungan juga dinilai perlu diberikan kepada pendamping korban atau perempuan pembela HAM yang seringkali juga menerima ancaman. Selain itu, jangka waktu penetapan perlindungan yang saat ini dianggap terlalu lama perlu ditelaah kembali.

Dalam pembahasan mengenai konstitusi, Dana Bantuan Korban (DBK), dan kompensasi, LBH APIK menekankan perlunya penegasan mekanisme dan koordinasi restitusi antara Aparat Penegak Hukum (APH) dan LPSK. 

Pihaknya juga menyoroti permasalahan terkait pengawasan eksekusi restitusi yang seringkali tidak berjalan efektif. Konsep DBK juga diusulkan untuk diadopsi dalam revisi UU LPSK untuk semua jenis tindak pidana, serta mempertimbangkan kompensasi sebagai bentuk pertanggungjawaban negara jika restitusi dan DBK tidak dapat memenuhi hak-hak korban. 

Terkait hak-hak korban, LBH APIK mengusulkan penyesuaian dengan undang-undang lain seperti UU TPKS dan UU PKDRT, termasuk memperhatikan kebutuhan kelompok rentan seperti disabilitas, ODHIV/ODHA, dan kelompok keberagaman gender. 

Hak atas informasi selama proses peradilan pidana, termasuk hak tentang restitusi, serta layanan berbasis gender juga dinilai penting untuk diakomodir. Manajer Program HUMA, Nora Hidayati, dan Direktur ELSAM, Wahyudi Jafar, turut hadir dalam RDPU tersebut dan memberikan kontribusi masukan yang konstruktif dalam upaya penyempurnaan UU Perlindungan Saksi dan Korban. •rnm/aha

EMedia DPR RI