2 May 2025
Industri dan Pembangunan

Program Pinjaman Hibah Luar Negeri KKP Perlu Konsultasi Publik Dahulu Sebelum Disetujui

  • April 24, 2025
  • 0

Anggota Komisi IV DPR RI Cindy Monica saat Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan KKP di Senayan, Jakarta, Selasa (22/4/2025). Foto: Oji/vel.
Anggota Komisi IV DPR RI Cindy Monica saat Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan KKP di Senayan, Jakarta, Selasa (22/4/2025). Foto: Oji/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta – 
Anggota Komisi IV DPR RI Cindy Monica menyoroti terkait program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang berbasis dari pinjaman hibah luar negeri (PHLN). Ia meminta KKP untuk melakukan evaluasi PHLN, sebab, menurutnya beberapa program tersebut dinilai gagal menjawab kebutuhan dalam negeri.

“Ada beberapa case yang kami catat yang pertama adalah realisasi Program Oceans for Prosperity (Laut untuk Kesejahteraan/LAUTRA) di Papua dan NTT yang hanya masih 45 persen dari progres. Lalu yang kedua ada proyek Eco-Fishing Port (EFP) di Sumatera Barat yang karena desainnya itu tidak sesuai dengan kondisi geografis, jadi ini masih belum terealisasikan. Ada juga Fishing Port di Banten yang terkendala karena sengketa lahan,” kata Cindy dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan KKP di Senayan, Jakarta, Selasa (22/4/2025)

“Oleh karenanya, Fraksi Partai NasDem juga mendorong KKP untuk melibatkan terus nelayan melalui konsultasi publik sebelum PHLN ini disetujui, sehingga program-program yang sudah kita desain itu tentunya bisa terarah dan terlaksanakan secara maksimal,” lanjut Politisi Fraksi Partai NasDem ini.

Dalam kesempatan itu, Monica juga menyoroti terkait dampak efisiensi anggaran KKP pada kawasan tertinggal. Dalam kesempatan itu, ia mempertanyakan terkait upaya KKP untuk mendorong para nelayan lokal untuk dapat tersertifikasi dan berdaya saing.

“Tadi anggaran sertifikasi nelayan di Papua Barat itu kan dipotong 40 persen dari Rp3,2 milyar menjadi Rp1,9 miliar. Padahal, kita tahu hanya 12 persen dari 28 ribu nelayan di Papua Barat yang sudah tersertifikasi. Ini menurut data dari Dinas Perikanan. Sementara itu, sertifikasi yang menjadi prasyarat ekspor khususnya di pasar internasional seperti Uni Eropa (UE), ini membutuhkan itu,” ungkapnya.

“Dampaknya yang terjadi sekarang ada 600 nelayan di Raja Ampat itu gagal ekspor komoditas lobster karena enggak ada memiliki sertifikasinya, dan marak juga di situ yang namanya sertifikasi abal-abal. Tarifnya Rp 2,5 juta Pak, biar dapat sertifikasinya,” imbuhnya

Ia berharap, KKP dapat menjelaskan lebih lanjut pula terkait protokol KKP ketika efisiensi ini berdampak tentunya pada kolapsnya UMKM yang berkecimpung di dunia perikanan serta parameter apa yang digunakan untuk memastikan pembangunan merata.

“Karena masih ada disparitas antara Jawa dan luar Jawa yang kami lihat ini meningkat 7 persen dalam 3 tahun terakhir,” tutupnya. •hal,stv/rdn

EMedia DPR RI