19 April 2025
Politik dan Keamanan

Indonesia Harus Ambil Peluang Strategis di Tengah Perang Dagang AS-China

  • April 17, 2025
  • 0

Anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja. Foto: Dok/vel.
Anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja. Foto: Dok/vel.


PARLEMENTARIA, Serang 
– Ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat tajam sejak awal tahun 2025. Kedua negara saling menaikkan tarif impor secara signifikan, dengan AS menetapkan tarif sebesar 145 persen terhadap berbagai produk dari China, sebaliknya China membalas dengan tarif hingga 125 persen terhadap barang dari AS.

Dalam kondisi global yang kian kompetitif itu, Anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja, mendorong pemerintah Indonesia untuk bersikap proaktif dan cerdas dalam memanfaatkan peluang yang muncul dari konflik dua raksasa ekonomi dunia tersebut.

Menurut Abraham, perang dagang ini bukan hanya menjadi tantangan bagi ekonomi global, tetapi juga menyimpan potensi besar bagi Indonesia untuk mengambil peran strategis dalam rantai pasok internasional.

“Jadi di tengah perang dagang ini, Indonesia harus bisa memanfaatkan opportunity. Ada kesempatan besar di sini di mana Amerika menerapkan tarif 145 persen untuk China dan China menerapkan 125 persen untuk AS. Artinya, AS memaksa China untuk membuka pabrik di luar China. Dengan tarif yang diberlakukan kepada Indonesia yang lebih rendah, Indonesia harus bisa memanfaatkan ini,” ujar Abraham kepada Parlementaria dalam Kunjungan Kerja Reses Komisi I DPR di Serang, Banten, Selasa (15/4/2025).

Abraham menjelaskan bahwa eskalasi tarif ini akan memicu relokasi industri besar-besaran dari China ke negara-negara yang dianggap lebih netral dan kompetitif secara biaya, termasuk kawasan Asia Tenggara. Ia menekankan bahwa Indonesia harus bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam menarik investasi asing, khususnya dari perusahaan-perusahaan manufaktur China yang ingin menghindari beban tarif tinggi.

“Caranya dengan bagaimana? Birokrasi kita harus dipermudah, SDM kita harus diperkuat, sehingga China dapat memilih Indonesia daripada Vietnam atau negara-negara lain. Tentunya dengan investasi yang masuk dari perusahaan-perusahaan China ke Indonesia, ini akan membantu ekonomi kita,” tutur Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Ia menekankan pentingnya reformasi struktural, termasuk pemangkasan regulasi yang menghambat, percepatan perizinan investasi, serta peningkatan kualitas tenaga kerja lokal agar Indonesia dapat menjadi pilihan utama investor asing.

Namun di balik peluang tersebut, Abraham juga mengingatkan pentingnya stabilitas dan kehati-hatian. Ia menyoroti bahwa Indonesia harus menjaga keseimbangan antara menarik investasi dan melindungi kepentingan nasional. Dalam hal ini, peran diplomasi ekonomi menjadi sangat vital, terutama dalam menghadapi Amerika Serikat sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia.

“Kita berharap tim yang dikirim oleh Bapak Presiden Prabowo dapat menghasilkan hasil yang baik untuk ekonomi Indonesia,” ucapnya, mengacu pada rencana kunjungan tim negosiasi Indonesia ke Amerika Serikat dalam waktu dekat.

Abraham juga menegaskan bahwa Indonesia harus tetap terbuka dan fleksibel dalam bernegosiasi, mengingat posisi tawar Indonesia yang cukup kuat saat ini. Berdasarkan data terakhir, neraca perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat menunjukkan surplus sebesar 18 miliar dolar AS, yang menandakan ketergantungan pasar AS terhadap berbagai produk ekspor Indonesia seperti tekstil, alas kaki, elektronik, hingga produk pertanian.

“Yang perlu ditegaskan adalah Indonesia ini terbuka dengan negosiasi apapun. Jadi kita harus lebih fleksibel, kita nggak boleh terlalu kaku karena neraca perdagangan Indonesia ke Amerika itu kita surplus 18 billion US dollar. Artinya, apabila kita bisa nego—misalnya kita menurunkan tarif impor AS ke China—itu akan menjadi salah satu bahan untuk negosiasi yang baik,” jelasnya.

Abraham juga menyoroti pentingnya menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah transformasi global yang sedang berlangsung. Ia menyebut bahwa masuknya investasi besar tentu harus disertai dengan pengawasan dan regulasi yang kuat, agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi UMKM, ekosistem lokal, dan kedaulatan ekonomi nasional.

“Kita memang harus waspada. Stabilitas ekonomi tidak hanya soal makroekonomi, tapi juga bagaimana kita menjaga keseimbangan antara industri besar dan pelaku usaha kecil, antara investasi asing dan pertumbuhan sektor dalam negeri,” tegasnya.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah memperkuat koordinasi lintas sektor antara kementerian luar negeri, kementerian perdagangan, dan BKPM dalam memetakan target industri prioritas serta memfasilitasi investasi yang berkualitas, bukan sekadar kuantitas. •blf/rdn

EMedia DPR RI