16 April 2025
Industri dan Pembangunan

Ditunda 90 Hari, Kebijakan Tarif 32 Persen AS Perlu Disikapi Hati-Hati

  • April 14, 2025
  • 0

Ketua Komisi VII Saleh Partaonan Daulay (tengah), saat memimpin peninjauan di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Adolina, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Kamis (10/4/2025). Foto: Ridwan/vel.
Ketua Komisi VII Saleh Partaonan Daulay (tengah), saat memimpin peninjauan di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Adolina, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Kamis (10/4/2025). Foto: Ridwan/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta –
 Keputusan Presiden AS Donald Trump pada 9 April 2025 yang menunda pemberlakuan sebagian tarif memberikan ruang bagi Indonesia untuk mengatur langkah. Penundaan ini hanya bersifat sementara, yaitu selama 90 hari.

Diketahui, AS menetapkan tarif resiprokal dasar sebesar 10 persen mulai 5 April 2025. Namun, bagi Indonesia, tarif khusus sebesar 32 persen sedianya akan berlaku mulai 9 April. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan kepada Jepang (24 persen), Uni Eropa (20 persen), bahkan Korea Selatan (25 persen).

Tarif tinggi tentu menekan ekspor. Produk tekstil, furnitur, elektronik, serta hasil pertanian dan perikanan berpotensi terpukul. Menanggapi hal itu, Ketua Komisi VII Saleh Partaonan Daulay menilai kebijakan tarif 32 persen oleh AS perlu disikapi dengan benar oleh pemeritah. 

“Cara menyikapinya tentu dengan negosiasi, paling tidak agar diseimbangkan (kebijakan tarif). Kedua tentu kita di dalam negeri harus meningkatkan daya saing barang-barang kita, sehingga dengan adanya peningkatan daya saing barang-barang kita bukan hanya lagi kita mengejar ekspor ke Amerika, tetapi buka pasar baru. Eropa, Timur Tengah, dan Afrika saya kira itu menjanjikan untuk pasar kita,” jelas Saleh kepada Parlementaria usai peninjauan di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Adolina, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Kamis (10/4/2025).

Selanjutnya, ia juga menilai pemerintah perlu mewaspadai persaingan pada masa akan datang. “Sehingga, perusahaan perlu mengikuti program agar sektor sumber daya manusia khususnya, pelatihan kerjanya semakin maju,” pungkas Politisi Fraksi PAN ini.

Tarif resiprokal ini akan kian memukul sektor padat karya Indonesia yang selama ini tergantung pasar AS, dan menyumbang besar pada ekspor serta lapangan kerja. Gelombang PHK dan perlambatan ekonomi menjadi ancaman di depan mata.

Pemerintah memberikan sinyal siap melunak terkait hambatan nontarif. Sejauh mana kompensasi dan take-and-give kedua pihak sangat tergantung kekuatan diplomasi kita. Sejumlah pengamat mendesak pemerintah meminta penundaan tarif resiprokal dan menegosiasikan kembali skema Generalized System of Preferences (GSP) agar tetap bisa mengakses pasar AS. •rdn

EMedia DPR RI