Percepatan Perdagangan Karbon, Demi Keberlanjutan Lingkungan & Ekonomi
- Februari 28, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam memanfaatkan potensi perdagangan karbon, meskipun inisiatif ini telah dimulai beberapa tahun yang lalu. Dalam upaya mempercepat implementasi kebijakan ini, Komisi XII DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama sejumlah pelaku industri yang terlibat langsung, seperti PT PLN Indonesia Power, PT Pertamina Power Indonesia, Asosiasi Perdagangan Karbon Indonesia (APERKARIA), dan berbagai organisasi lingkungan seperti PT Wildlife Works Indonesia, Ecosecurities, dan Forest Carbon di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2/2025).
Turut aktif berpartisipasi dalam forum tersebut, Anggota Komisi XII DPR RI Ratna Juwita Sari mengungkapkan bahwa sektor perdagangan karbon di Indonesia seharusnya sudah berjalan dengan lebih baik, mengingat potensi besar yang dimiliki negara ini untuk terlibat dalam pasar karbon global. “Kita prihatin karena perdagangan karbon yang sudah lama diinisiasi belum terlaksana dengan maksimal. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya kepastian mengenai regulasi yang ada,” ujar Ratna.
Salah satu isu krusial yang disorot oleh Ratna adalah kurangnya batasan waktu yang jelas dalam pelaksanaan kebijakan ini. “Tanpa adanya timeline yang jelas, saya khawatir investor-investor yang sudah tertarik untuk berinvestasi di Indonesia akan memilih negara lain yang lebih pasti,” tegasnya.
Dirinya juga menekankan pentingnya kepastian hukum dalam mendukung iklim investasi yang sehat, khususnya di sektor energi terbarukan dan perdagangan karbon yang sedang berkembang pesat. Diketahui dalam rapat tersebut, para stakeholder yang hadir mengungkapkan kendala yang dihadapi, termasuk peraturan yang masih belum optimal mendukung perkembangan pasar karbon.
Di antaranya, peraturan-peraturan seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022 dianggap sebagai hambatan bagi pelaku industri untuk bergerak lebih cepat dalam mewujudkan perdagangan karbon yang efektif. Tidak henti, ia pun mengingatkan tentang pentingnya sinergi antara pemerintah dan sektor swasta untuk menciptakan ekosistem perdagangan karbon yang sehat.
Sebab itu, dirinya berharap, dengan segera disahkannya rancangan undang-undang terkait energi baru dan terbarukan, sektor ini akan mendapatkan landasan hukum yang lebih kuat. “RUU ini sangat penting untuk memberikan kerangka hukum yang jelas bagi sektor energi terbarukan dan perdagangan karbon,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ratna juga menyentuh isu harmonisasi peraturan perpajakan yang dianggap masih kurang mendorong sektor perdagangan karbon. “Peraturan perpajakan perlu diperbaiki agar lebih mendukung pertumbuhan sektor ini. Jika tidak, kita akan kesulitan untuk menarik investasi yang sangat dibutuhkan,” katanya.
Selain itu, dirinya menilai Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang dalam perdagangan karbon, mengingat kondisi geografisnya yang kaya akan hutan tropis dan potensi emisi karbon yang dapat dikompensasikan. “Jika kita tidak segera mengatasi hambatan-hambatan regulasi ini, kita akan kehilangan peluang besar dalam industri karbon global yang terus berkembang,” ujarnya.
Menutup pernyataan, Ratna berharap akan ada langkah konkret dari pemerintah untuk segera merevisi peraturan-peraturan yang menghambat, serta memberikan kejelasan dalam timeline pelaksanaan perdagangan karbon. Dengan langkah tersebut, terangnya, Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam pasar karbon global, mendukung ekonomi hijau, dan sekaligus berkontribusi pada upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. •um/aha