25 April 2025
Industri dan Pembangunan

Wakil Ketua Komisi VII: Revisi UU Pariwisata Harus Solutif & Adaptif

  • Februari 17, 2025
  • 0

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita, saat memimpin pertemuan dengan Pemda Yogyakarta serta pelaku industri pariwisata di Yogyakarta, Kamis (13/2/2025). Foto: Mentari/vel.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita, saat memimpin pertemuan dengan Pemda Yogyakarta serta pelaku industri pariwisata di Yogyakarta, Kamis (13/2/2025). Foto: Mentari/vel.

PARLEMENTARIA, Yogyakarta – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Pariwisata harus mampu menjawab tantangan sektor pariwisata saat ini, termasuk dalam aspek tata kelola, investasi, dan efisiensi anggaran. Hal ini disampaikannya dalam kunjungan kerja spesifik ke Yogyakarta, Jawa Tengah, bersama delegasi Komisi VII DPR RI guna menggali masukan dari pemerintah daerah serta pelaku industri pariwisata terkait rancangan revisi UU Nomor 10 Tahun 2009.

Menanggapi isu Bali over tourism yang ramai di media sosial, Evita menilai bahwa isu tersebut merupakan kampanye negatif yang berpotensi menurunkan daya tarik Bali sebagai destinasi utama wisata dunia. Menurutnya, kepadatan wisatawan di Bali hanya terjadi di beberapa titik tertentu, sehingga distribusi yang tidak merata menjadi tantangan yang perlu diselesaikan, terutama oleh pemerintah daerah.

“Isu Bali over tourism menurut saya tidak benar. Ini hanya kampanye negatif dari negara pesaing yang ingin mengalihkan wisatawan dari Bali ke destinasi lain. Yang perlu dilakukan adalah distribusi wisatawan yang lebih merata, bukan memberi label negatif kepada Bali,” tegasnya usai pertemuan dengan Pemda Yogyakarta serta pelaku industri pariwisata di Yogyakarta, Kamis (13/2/2025).

Evita menyarankan agar revisi UU Pariwisata mencakup aturan yang jelas mengenai lembaga mana yang berwenang menetapkan status over tourism pada suatu destinasi. Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut harus berbasis data valid dan tidak bisa sembarangan ditetapkan.

Ia juga menyoroti pentingnya efisiensi anggaran di sektor pariwisata tanpa mengganggu target kunjungan wisatawan dan promosi internasional. Evita mengapresiasi komitmen Kementerian Pariwisata dalam mempertahankan target kunjungan wisatawan meskipun terdapat penghematan anggaran. Menurutnya, pemanfaatan teknologi dan media sosial harus lebih dioptimalkan sebagai alat promosi yang efektif dan hemat biaya.

“Teknologi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Promosi pariwisata kini dapat dijalankan secara digital tanpa harus melakukan kunjungan langsung ke negara-negara tujuan. Ini akan memangkas anggaran sekaligus menjangkau audiens yang lebih luas,” ujarnya.

Evita menekankan bahwa sinergi antara kementerian, pemerintah pusat, dan daerah menjadi salah satu poin utama dalam revisi UU Pariwisata. Ia menilai tata kelola yang baik, mulai dari perencanaan tata ruang hingga fasilitasi investasi, akan menciptakan ekosistem pariwisata yang lebih kompetitif. Selain itu, ia menyoroti sulitnya proses perizinan, baik untuk penyelenggaraan acara (event) maupun pendirian usaha, yang menjadi salah satu kendala utama bagi pelaku industri pariwisata.

“Saya baru mengetahui bahwa perizinan acara itu sulit. Masukan dari daerah sangat penting untuk menyelesaikan masalah ini. Regulasi harus mempermudah, bukan menghambat pertumbuhan sektor pariwisata,” katanya.

Selain itu, Evita mengungkapkan bahwa sejumlah daerah ingin mengaktifkan kembali Badan Promosi Pariwisata (BPP), tetapi terkendala oleh keterbatasan anggaran. Ia menilai perlu ada solusi konkret dan inovatif dalam pendanaan promosi pariwisata, baik di tingkat pusat maupun daerah.

“Kita harus mencari sumber pendanaan alternatif untuk promosi pariwisata. Tanpa anggaran yang memadai, promosi tidak akan optimal,” jelasnya.

Evita berharap revisi UU Pariwisata dapat menciptakan regulasi yang solutif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi serta tantangan di lapangan. Ia juga menekankan pentingnya sinergi antarlembaga, efisiensi anggaran, peningkatan investasi, serta kemudahan perizinan dalam mendorong pertumbuhan sektor pariwisata yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

“Revisi UU Pariwisata harus menjadi solusi atas persoalan tata kelola, tata ruang, serta investasi. Jika pariwisata dikelola dengan baik, investor akan merasa nyaman, dan manfaatnya juga akan dirasakan oleh masyarakat,” pungkasnya.

Kunjungan kerja ini diharapkan dapat memperkaya pembahasan revisi UU Pariwisata agar sektor ini semakin kompetitif, berdaya saing global, dan mampu memberikan dampak ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat. •mri/aha

EMedia DPR RI