Bahas RUU Minerba, Baleg Undang PWYP Indonesia dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
- Februari 4, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) terus bergulir di parlemen. Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mengundang beberapa pihak untuk memberi masukan terhadap RUU antara lain Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI).
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Karmila Sari mengatakan rapat pleno ini dilakukan untuk mendapat masukkan mengenai aturan yang perlu dimasukan dalam RUU apabila negara ingin memberi kesempatan kepada masyarakat maupun Perguruan Tinggi untuk mengelola SDA.
“Saat ini kita mau melegalkan (RUU Minerba) dengan memberi kesempatan kepada masyarakat dan Perguruan Tinggi. Kami minta masukan kira kira standar yang harus diberikan seperti apa,”ungkapnya di ruang rapat Badan Legislasi (Baleg) Nusantara I, DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2025).
Koordinator Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Aryanto Nugroho, mengatakan Pemberian prioritas perizinan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta lainnya berpotensi menambah jumlah izin pertambangan semakin banyak.
Sebelum menerbitkan izin baru perlu dilakukan evaluasi lebih dulu terhadap pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Jika langkah itu tidak dilakukan akan berulang lagi persoalan 10 tahun lalu dimana 90 persen pemegang izin tambang tidak membayar dana reklamasi.
“Kalau diberikan prioritas untuk UMKM, koperasi dan lain-lain ini akan berpotensi melahirkan makin banyak izin pertambangan. Karenanya, ia mengusulkan perlu moratorium izin baru terutama sektor batubara,” katanya.
sebab sejak 2019 jumlah produksinya meningkat sampai 2 kali lipat dari batas yang diatur pemerintah dalam rencana umum energi nasional (RUEN).
Bertambahnya jumlah perizinan akan berdampak pada menurunnya harga komoditas batubara di tingkat global. Bahkan Kementerian ESDM juga berencana untuk membatasi produksi nikel karena sudah melebihi target produksi.
Kemudian, ia juga mengatakan, Pasal 51A RUU yang memberikan konsesi bagi perguruan tinggi menurut Aryanto pelaksanaannya akan sulit. Sebab fokus kampus pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan kegiatan usaha pertambangan.
Sementara industri pertambangan butuh modal besar dan kemampuan teknis yang mumpuni. Apalagi bisnis proses pertambangan tergolong panjang mulai dari riset, sampai pasca tambang. Belum lagi menghadapi persoalan antara lain eksplorasi yang tidak sesuai ekspektasi sehingga mandek.
Menurut Aryanto peran kampus dalam industri pertambangan selain menyiapkan sumber daya manusia yang unggul juga transfer of knowledge. Melalui cara itu kampus bisa menjual paten atau riset yang mereka miliki untuk digunakan industri tambang. “Tugas kampus disitu, termasuk melahirkan inovasi baru,” ujarnya.
Kemudian, Ketua Umum Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Budi Djatmiko, intinya mendukung kampus diberikan izin konsesi pertambangan. Selama ini sudah umum di negara maju, dimana kampus ikut dalam melakukan riset di bidang industri yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA).
Budi menyebut mahasiswa kampus Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat hanya membayar seperempat uang kuliah dan sisanya ditanggung kampus. Itu bisa dilakukan karena kampus punya badan usaha. “Kalau diberi konsesi apakah (kampus) punya modal dan tim teknis? Itu gak punya, tapi yang ada ya tenaga ahli,” bebernya.
Menanggapi hal itu, Anggota Baleg DPR RI Arif Rahman, mengingatkan jangan sampai RUU Minerba ini dianggap sebagai bentuk kooptasi negara terhadap perguruan tinggi dan ormas keagamaan karenanya check and balances harus ada. Apalagi mahasiswa adalah agen perubahan di setiap masa.
Menurutnya, prinsip perguruan tinggi harus dijaga jangan sampai terkooptasi sehingga tidak kritis terhadap pemerintah.
“Ini penting bagi perguruan tinggi tidak hanya berorientasi dengan tata kelola tambang sehingga bisa mengumpulkan dana abadi (pendidikan), karena ini tidak mudah perlu modal besar, pengetahuan, dan ahli,” pungkasnya. •rnm/aha