PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI Anita Jacoba Gah menekankan pentingnya keadilan dalam alokasi bantuan pendidikan, antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Pernyataan tersebut berkaitan dengan isu mendasar yang telah lama menjadi sorotan, terutama di wilayah dengan keterbatasan infrastruktur dan akses pendidikan seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dirinya menilai alokasi bantuan pendidikan lebih berpihak kepada PTN melalui adanya Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), sedangkan PTS kerap terabaikan. Padahal, menurutnya, PTS memiliki peran yang tak kalah penting dalam mendidik anak bangsa.
“Apakah perguruan tinggi swasta bukan mendidik anak bangsa? Kalau PTN mendapatkan bantuan besar, mengapa PTS tidak? Ini harus jadi perhatian kita semua agar keadilan tercapai,” ujar Anita usai memimpin pertemuan dengan sejumlah pemangku kepentingan sektor pendidikan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (6/12/2024).
Berdasarkan laporan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa anggaran untuk BOPTN tahun 2023 mencapai Rp7,9 triliun. Sedangkan, PTS hanya mengandalkan bantuan terbatas melalui program hibah dan tidak memiliki skema pendanaan khusus yang terintegrasi. Hal ini, sebutnya, berdampak pada rendahnya daya saing PTS dalam menyediakan fasilitas dan mendukung kegiatan akademik.
Politisi Fraksi Partai Demokrat itu juga menyoroti keluhan mahasiswa terkait pemotongan dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah oleh beberapa kampus. Berdasarkan hasil peninjauannya, mahasiswa sering kali diminta membayar terlebih dahulu biaya registrasi, dengan janji pengembalian setelah dana KIP cair, namun realisasinya kerap bermasalah.
“Mahasiswa sudah cukup terbebani. Kalau ada dana KIP, seharusnya pengelolaan oleh kampus transparan. Jangan sampai ada potongan yang tidak jelas. Ini akan saya kawal langsung,” tegasnya.
Diketahui, KIP Kuliah merupakan kebijakan andalan pemerintah untuk membantu mahasiswa dari keluarga tidak mampu. Pada tahun 2023, program ini menyasar 1 juta penerima dengan alokasi anggaran Rp9,6 triliun. Meski demikian, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan, terutama di daerah yang jauh dari pengawasan pusat.
Sebagai wakil rakyat dari NTT, Anita akan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi tingginya angka putus sekolah di wilayah tersebut. Hal ini dipertegas dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan dasar di NTT mencapai 5,7 persen jauh di atas rata-rata nasional sebesar 1,8 persen.
“Saya tidak mau lagi ada anak-anak NTT yang tidak sekolah. Pemerintah daerah harus punya data lengkap untuk menarik mereka kembali ke bangku pendidikan. Ini tugas kita semua,” imbuhnya.
Ia juga mendorong peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan di daerah terpencil. Ia menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan anggaran yang lebih besar bagi NTT.
Menutup pernyataannya, Anita menegaskan upaya pemerataan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, akan tetapi juga pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan masyarakat. Ia berharap kolaborasi ini dapat mewujudkan pendidikan yang adil sesuai amanat Pasal 31 UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila.
“Keadilan itu tidak mudah dicapai, tetapi jika kita tidak memulainya sekarang, kapan lagi? Ini bukan hanya soal angka, tapi masa depan generasi kita,” pungkasnya. •ums/rdn