#Politik dan Keamanan

Komisi III Terima Berbagai Masukan dari ICJR

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, saat membacakan butir pertama rekomendasi dalam RDPU di ruang rapat Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2024). Foto : Devi/Andri.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, saat membacakan butir pertama rekomendasi dalam RDPU di ruang rapat Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2024). Foto : Devi/Andri.

PARLEMENTARIA, Jakarta – Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI yang dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, bersama Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menghasilkan dua butir rekomendasi.

“Komisi III DPR RI mempertimbangkan usulan ICJR untuk memasukkan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU tentang Narkotika, yang merupakan RUU carry over, ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025, serta usulan RUU lainnya untuk masuk ke dalam daftar Prolegnas 2024–2029,” ujar Habiburokhman saat membacakan butir pertama rekomendasi dalam RDPU di ruang rapat Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2024).

Dalam butir rekomendasi kedua, politisi dari Fraksi Partai Gerindra ini mengungkapkan bahwa Komisi III DPR RI akan mengundang ICJR dalam setiap penyusunan dan pembahasan RUU di Komisi III DPR sebagai bentuk partisipasi bermakna.

Sebelumnya, Komisi III DPR RI menerima sejumlah usulan dari ICJR terkait beberapa RUU yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia. Di antaranya adalah revisi KUHAP yang menurut Habiburokhman, sudah lama diusulkan untuk masuk ke dalam Prolegnas. Revisi ini mencakup beberapa isu utama, salah satunya adalah implementasi restorative justice, yaitu penyelesaian perkara pidana dengan fokus pada pemulihan kerugian korban.

“Selain itu, juga terkait peran advokat (yang akan diatur dalam undang-undang advokat). Saat ini, advokat hanya boleh mendampingi, duduk diam, dan mencatat tanpa berhak untuk berargumen membela. Ironisnya, praktik ini diterapkan oleh institusi yang kita anggap reformis. Dulu mungkin hal ini wajar di Kepolisian, tetapi di KPK, kami juga menemui hal serupa. Jadi, rekan-rekan yang beracara di KPK hanya bisa duduk, mencatat, diam, dan tidak boleh merekam untuk kepentingan profesi mereka,” ujarnya.

Terkait dengan RUU Narkotika, Habiburokhman menyebutkan bahwa RUU tersebut memang termasuk carry over karena sempat dikembalikan untuk disatukan dengan RUU Psikotropika. Ada isu menarik untuk dibahas ke depan, yaitu apakah konsep “in or on drugs” masih relevan, atau apakah sebaiknya bergeser ke isu kesehatan seperti rehabilitasi.

Selain itu, ICJR juga mengusulkan undang-undang terkait penyadapan. Komisi III tidak menginginkan adanya kekuasaan yang terlalu eksesif dalam hal penyadapan, terutama yang tidak berkaitan langsung dengan penegakan hukum. “Saat kami berkunjung ke FBI, penyadapan sangat dibatasi untuk hal-hal di luar pokok permasalahan,” kata Habiburokhman.

“Intinya, kami menerima banyak masukan berharga dari rekan-rekan ICJR. Untuk selanjutnya, kita bisa bekerja sama dengan Sekretariat Komisi III DPR dan Badan Keahlian DPR,” tambahnya. •ayu/aha

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *