PARLEMENTARIA, Jakarta – Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan menggelar agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR dengan Mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas periode 2014-2021 Bambang Brodjonegoro di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Jumat (30/8/2024). Forum ini digelar guna memperoleh terkait mekanisme pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan alokasi sekaligus penyaluran anggaran pendidikan.
Selain sebagai Mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro juga diundang oleh Komisi X dalam kapasitasnya sebagai mantan Menteri Keuangan RI periode 2014-2016.
Memimpin RDPU, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi menilai postur anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD perlu direformulasi. Baginya, upaya ini sangat penting agar rakyat Indonesia memperoleh layanan pendidikan yang layak, terjangkau, dan berkeadilan.
“Urgensi pertemuan hari ini supaya kami mendapatkan pandangan yang benar dan tepat mengenai implementasi mandatory spending 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD seperti yang diamanatkan konstitusi. Kami melihat anggaran pendidikan besar tapi Kemendikbudristek hanya memperoleh anggaran sedikit untuk mengurus pendidikan nasional kita. Ini jadi tanya kami,” ungkap Dede saat membuka agenda.
Terbukti, berdasarkan laporan yang dirinya terima, Kemendikbudristek selaku kementerian yang mengurus sektor pendidikan hanya mengelola 15 persen atau setara Rp98,99 triliun dari keseluruhan anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun. Sebanyak 33 persen lainnya atau setara Rp219,48 triliun disebar di Kementerian Agama, K/L lainnya, dan Kementerian Keuangan sebagai pengelola anggaran pembiayaan pendidikan serta anggaran pendidikan non-K/L.
Tidak berhenti, proporsi terbesar sebesar 52 persen atau setara Rp346,56 triliun dialokasikan untuk dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Laporan ini, menurutnya, membuat Kemendikbudristek tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran pendidikan di luar pengajuan anggaran Kemendikbudristek.
Di sisi lain, hanya 6 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia yang menganggarkan 20 persen dari APBD untuk sektor pendidikan. Tidak hanya itu saja, sekolah kedinasan diketahui masih dibiayai dari anggaran pendidikan APBN dan/atau APBD.
Seharusnya, jika mengacu pada putusan MK Nomor 011/PUU-III/2005 pada tanggal 19 Oktober 2005 dan putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007 tanggal 20 Februari 2008, sekolah kedinasan tidak lagi dibiayai dari anggaran pendidikan yang berasal dari APBN dan/atau APBD. Sebab itu, mewakili Panja Pembiayaan Pendidikan, dirinya menegaskan kebijakan anggaran pendidikan perlu dikembalikan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
“Postur anggaran pendidikan memang menyisakan permasalahan dalam implementasinya. Kami harap bisa segera menemukan solusi yang tepat supaya tidak jadi larut (masalahnya),” tandas Politisi Fraksi Partai Demokrat itu.
“Kebijakan anggaran pendidikan ini, ke depannya, harus dibuat tegas dan jelas supaya tidak muncul multiinterpretasi”
Sebagai informasi, Bambang Brodjonegoro mendukung adanya kebijakan reformulasi mandatory spending 20 persen anggaran pendidikan dari APBN dan APBD. Menurutnya, ada 4 poin yang menjadi akar permasalahan tidak efektif dan tidak efisiennya penyaluran alokasi anggaran pendidikan.
Di antaranya, pertama, pendidikan kedinasan masih didanai oleh 20 persen anggaran pendidikan. Kedua, pemanfaatan anggaran pendidikan untuk belanja yang langsung pada penyelenggaraan pendidikan semakin menurun, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Ketiga, pemanfaatan anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk Dana Transfer Umum (DTU) dan Otsus tidak transparan dan tidak berbasis data. Terakhir, keempat, pemerintah daerah belum berkomitemen penuh untuk mengalokasikan 20 persen APBD untuk anggaran pendidikan.
“Kebijakan anggaran pendidikan ini, ke depannya, harus dibuat tegas dan jelas supaya tidak muncul multiinterpretasi. Sehingga, anggaran pendidikan ini bisa langsung dirasakan oleh rakyat Indonesia,” pungkas Bambang. •um/rdn