PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota DPR RI Hidayat Nur Wahid menyorti fakta adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari tiga hakim MK terkait putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) beberapa waktu lalu. Menurutnya, dissenting opinion tersebut perlu menjadi sejumlah catatan, demi perbaikan kualitas pemilu, termasuk, pilkada ke depan. Hal itu agar tidak terulang berbagai materi yang menjadi rujukan terjadinya dissenting opinion dari tiga hakim MK.
“Sesuai ketentuan Konstitusi, putusan MK dari para hakim yang dipersyaratkan sebagai negarawan itu, sehingga putusannya berkelas terbaik. Sehingga wajar bila bersifat final dan mengikat, maka wajar pula bila demikian maka putusan MK tentu harus diterima, dihormati dan dilaksanakan. Walaupun, sejak MK ada di Indonesia, dalam putusannya, baru pertama kali para hakim konstitusi tidak bulat sepakat terkait dengan adanya kecurangan pilpres. Terbukti ada tiga hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Sabtu (27/4/2024).
Pria yang kerap disapa HNW itu menambahkan bahwa adanya tiga hakim yang menyatakan adanya berbagai masalah hukum dan etika, seperti kecurangan pilpres secara terstruktur, sistematis dan masif tersebut, seharusnya dianggap serius dan tidak dipandang remeh. Bahkan perlu menjadi pelajaran bagi setiap pihak, baik peserta pilpres, penyelenggara pemilu dan juga pemerintah.
“Adanya tiga hakim MK yang menyatakan dissenting opinion dari total delapan hakim yang memutus perkara itu jumlahnya cukup banyak. Sehingga menunjukkan bahwa ada banyak hal bermasalah yang perlu diperbaiki, demi peningkatan kualitas penyelenggaraan dan hasil pemilu ke depan, termasuk pilkada serentak beberapa bulan yang akan datang,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.
“Ada banyak hal bermasalah yang perlu diperbaiki, demi peningkatan kualitas penyelenggaraan dan hasil pemilu ke depan, termasuk pilkada serentak beberapa bulan yang akan datang”
Beberapa opini yang disampaikan oleh para hakim tersebut antara lain adalah adanya politisasi bantuan sosial menjelang Pilpres, cawe-cawe presiden, dan pengerahan aparat oleh pemerintah yang menguntungkan salah satu pasangan calon. Dengan demikian, hal-hal yang mencederai kedaulatan rakyat serta Pemilu yang menurut Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 harus bersifat bukan hanya jujur dan adil, tapi juga harus ‘bebas’ dari pengaruh bansos maupun cawe-cawe penguasa. Sehingga, seharusnya hal-hal demikian itu bisa dijadikan evaluasi ke depan. Apalagi, dalam beberapa bulan ke depan, daerah-daerah di Indonesia akan menghelat penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Praktik-praktik tersebut, menurutnya, sudah mendegradasi kualitas Pilpres, mengulangi KKN, mencederai kedaulatan rakyat. Maka, seharusnya dikoreksi dan tidak dibiarkan diulang lagi dalam Pemilu termasuk pilkada beberapa bulan yang akan datang.
“Misalnya, penggunaan bantuan sosial yang diasosiasikan dengan politik ‘pork barrel’ yang telah sejak lama dikritik sebagai upaya pengkerdilan demokrasi. Ini seharusnya tidak boleh terulang kembali, aturan perundang-undangan soal ini, sebagaimana diingatkan oleh KPK, hendaknya dipertegas, agar bansos itu digunakan untuk kebutuhan masyarakat di luar jadwal Pemilu, bukan dibagikan menjelang Pemilu yang mudah dinilai sebagai manuver untuk memenangkan salah satu calon tertentu,” ujar Wakil Ketua MPR RI ini.
Lebih lanjut, HNW juga berharap agar ke depan para hakim MK untuk lebih progresif dengan berani memperjuangkan keadilan substantif, dan tidak terjebak pada jenis keadilan prosedural saja. Maka wajar bila banyak pihak mengapresiasi tiga hakim MK. Hal itu Karenna mereka dinilai telah berani menyatakan pendapat berbeda sesuai Konstitusi dan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Dissenting opinion dipentingkan untuk menjaga kepercayaan Rakyat terhadap MK, menjaga agar Konstitusi tetap jadi rujukan, dan hukum serta demokrasi tetap bisa berjalan dengan baik dan benar di Indonesia.
“Agar Pemilu baik Pileg/Pilpres maupun Pilkada ke depan, tidak mengulangi masalah yang terjadi pada Pemilu termasuk Pilpres dan Pileg 2024. Agar Pemilu/Demokrasi dapat dilakukan lebih berkualitas baik dari sisi penyelenggaraannya maupun hasilnya. Sehingga cita-cita proklamasi dan reformasi yang sesuai dengan Konstitusi itu, dapat terus diwujudkan,” pungkas Wakil Rakyat dari Dapil Jakarta II ini. •rdn