#Politik dan Keamanan

Refleksi I Wayan Sudiarta terkait Penegakan Hukum 2023: Praktik Mafia dan ‘Orang Dalam’ Terlihat Jelas

Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta. Foto: Jaka/nr.
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta. Foto: Jaka/nr.

PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta menyampaikan catatan terkait refleksi akhir tahun 2023 untuk sektor penegakan hukum sekaligus menyampaikan harapannya dalam menyongsong tahun 2024.

“Di penghujung tahun 2023 ini, kita dapat kembali merefleksikan berbagai hal yang akan menjadi’’ selayang pandang dan pembelajaran kita dalam menyonsong tahun 2024 mendatang,” ujar Wayan Sudirta dalam keterangan tertulis yang dikutip Parlementaria, di Jakarta, Senin (1/1/2024).

Menurut Wayan, banyak pihak atau kalangan yang mencoba melakukan evaluasi terhadap sektor hukum di Indonesia. Wayan mengakui hal itu memang selalu menarik perhatian masyarakat.

Politikus Fraksi PDI-Perjuangan ini menyebut beberapa fenomena hukum yang dijumpai selama tahun 2023. Di antaranya kasus Pencucian Uang oleh oknum Kemenkeu, lanjutan Kasus Ferdi Sambo dan Teddy Minahasa, Kasus Kanjuruhan, kasus putusan Mahkamah Konstitusi yang melahirkan MKMK, kasus Ketua KPK, hingga adanya dorongan untuk membuka kembali kasus Kopi Sianida.

“Masih ada pula kasus-kasus kekerasan seksual, tindak pidana korupsi, kasus mutilasi, dan berbagai kasus yang kemudian viral di media sosial dan menarik perhatian masyarakat,” ujar Wayan Sudirta.

Menurut Wayan, atas sejumlah fenomena tersebut kemudian melahirkan berbagai opini dan rapor penegakan hukum di tahun 2023.

Wayan mengambil contoh dari riviu yang dikeluarkan oleh World Justice Report, bahwa Indeks Negara Hukum di Indonesia di tahun 2023 masih merah atau sama dengan tahun sebelumnya yakni 0,53 dari skala 0-1. Menurut Wayan, skor ini mengindikasikan stagnasi pada upaya pembangunan hukum Indonesia.

Beberapa aspek yang dinilai adalah tingkat pengaruh kekuasaan pemerintah, korupsi, keterbukaan, pemenuhan hak dasar seperti kebebasan berekspresi, ketertiban dan keamanan, penegakan aturan, peradilan sipil, dan peradilan pidana.

“Kepercayaan pada lembaga penegakan hukum, menurut survei LSI, meningkat pada awal 2023 namun menurun pada akhir 2023.”

Peningkatan terjadi pada kompetensi, transparansi, dan kecepatan kinerja. Namun, ada penurunan atau nilai rendah pada imparsialitas, budaya korupsi, mekanisme sistem peradilan pidana, dan pemenuhan HAM.

Demikian pula pada tingkat kepercayaan masyarakat yang menurun. Lembaga Survei Indonesia (LSI) misalnya, pada Oktober 2023, merilis survei terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia. Kepercayaan pada lembaga penegakan hukum meningkat pada awal 2023 namun menurun pada akhir 2023.

“Hasilnya proporsi buruk mendapat 36,1 persen dari responden, sedangkan yang menilai baik hanya 28,1 persen,” ujar Wayan.

Tingkat kepercayaan terhadap institusi hukum juga melemah, seperti pada KPK yang hanya mencapai 55 persen, Polri 53 persen, Kejaksaan 59 persen, dan Badan Peradilan sebesar 57 persen. LSI bahkan memprediksi akan ada penurunan tren pada tahun Pemilu.

Namun begitu, tetap terdapat peningkatan kinerja. Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik di tahun 2023 pada sektor hukum, yakni pada Januari yang hanya 59 persen menjadi 61,9 persen di akhir Agustus 2023.

Kepuasan terjadi pada aspek-aspek seperti penuntasan kasus hukum dan kekerasan oleh aparat, pemberantasan suap, jaminan kesamaan di muka hukum, dan pemberantasan korupsi.

Wayan menyebut fluktuasi tren kepercayan atau kepuasan publik terhadap sektor penegakan hukum memang merupakan refleksi dan menjadi pekerjaan rumah bersama pada tahun 2024.

Terdapat beberapa hal yang fundamental dalam dinamika sistem penegakan hukum di tahun 2023 ini.

Pertama, terkait dengan pelaksanaan program reformasi kultur dan struktur. Pemerintah berupaya menerapkan reformasi kultur dan struktur di seluruh Kementerian/Lembaga, termasuk institusi penegakan hukum dan sistem peradilan.

Namun, hal ini terlihat terkendala dan lambat, seiring dengan berbagai hal seperti tingkat pendidikan, budaya koruptif yang masih kental, dan masih adanya perdagangan pengaruh. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tampaknya belum berjalan sepenuhnya.

Sistem penegakan hukum dan aparatnya masih diwarnai dengan mafia hukum, suap, dan penyalahgunaan kewenangan.Belum lagi ditambah dengan budaya kekerasan, kesewenangan, dan keterlibatan dalam tindak pidana.

Dia mengatakan setiap insitusi penegak hukum telah memiliki manajemen Sumber Daya Manusia dan pengawasan.

“Berbagai cara untuk mengoptimalkan pengawasan, profesionalisme, dan transparansi terlihat telah dilakukan melalui sistem pengawasan melekat hingga digitalisasi,” jelasnya.

Akan tetapi, kata Wayan, masyarakat tetap dapat melihat dengan mata telanjang adanya praktik mafia di sektor pelayanan publik, seperti suap di pengurusan perkara, penggunaan pengaruh “orang dalam”, dan berbagai penyalahgunaan kewenangan oleh aparat seperti penggunaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. •rdn

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *