Cegah Krisis Iklim terhadap Anak, Pemerintah Harus Tegakkan Aturan UU Nomor 35 Tahun 2014
- 0
- 3 min read
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya. Foto: Dep/nr.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menegaskan pemerintah harus menegakkan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak untuk mencegah dan menangani dampak krisis iklim terhadap anak. Hal itu agar krisis iklim tidak menambah korban kekerasan anak di dalam keluarga.
“Tegakkan UU Perlindungan Anak sebagai langkah tegas menghukum pelaku kekerasan terhadap anak. Langkah itu harus dibarengi dengan adanya bantuan bagi keluarga Indonesia yang terancam kemiskinan dan dampak perubahan iklim,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Parlementaria, di Jakarta, Senin (1/1/2024).
Salah satu bentuk bantuan yang harus disediakan pemerintah yaitu, lanjut Willy, dengan menyediakan layanan-layanan kesehatan. Termasuk, sistem perlindungan sosial yang memadai agar pencegahan kekerasan terhadap anak akibat perubahan iklim menjadi efektif hingga ke struktur pemerintahan terendah di desa.
“Namun yang terpenting, seluruh masyarakat harus terus menyuarakan dampak iklim ini terhadap dampak kesejahteraan anak agar pengusulan RUU tentang Pengelolaan Perubahan Iklim, RUU Konservasi SDAE (Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya), dan RUU Pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) yang sudah masuk daftar panjang Prolegnas 2020-2024 bisa dilanjutkan secara komprehensif,” pungkas Politisi Fraksi Partai NasDem ini.
“Jangan lupakan, kekerasan domestik terhadap anak meningkat seiring dengan tingkat stres keluarga yang juga meningkat akibat ketidakpastian ekonomi”
Di sisi lain, Willy mengungkapkan pemerintah tidak bisa melihat permasalahan krisis iklim yang memicu kekerasan pada anak hanya dengan sebelah mata.
Oleh karenanya, menurut dia, diperlukan langkah serius dan komprehensif, bukan hanya melihat isu krisis iklim pada tataran jargon dan sebatas ekonomi dengan membuka pasar karbon tanpa membuat peta jalan pengendalian pencemaran dan pengembalian kapasitas alam.
“Krisis iklim dengan kekerasan terhadap anak, keduanya bisa langsung maupun tidak langsung berhubungan. Jangan lupakan, kekerasan domestik terhadap anak meningkat seiring dengan tingkat stres keluarga yang juga meningkat akibat ketidakpastian ekonomi,” ujarnya.
Seperti diketahui, anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Dampak dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim juga mampu memengaruhi kesehatan fisik dan mental anak-anak serta menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga. Hal ini terjadi karena anak-anak memiliki karakteristik dan fungsi fisiologis yang berbeda dengan orang dewasa.
Willy pun mengatakan isu terkait pemenuhan hak-hak anak yang menjadi korban kekerasan akibat krisis iklim merupakan wacana yang baru bagi pemerintah Indonesia sehingga komitmen tersebut harus terus dibangun.
Namun, lanjut Willy, pihaknya terus mengedepankan berbagai peraturan yang pro terhadap perlindungan anak dan perempuan.
“Saya pernah memimpin badan legislasi membahas kekerasan seksual terhadap anak dan berhasil membentuk UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ke depan masih ada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang juga mewacanakan perlindungan terhadap pekerja anak di sektor pekerjaan domestik. Di banyak undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya juga perlindungan anak terus menjadi concern bersama,” ujarnya. •rdn
- Baleg
- Seputar Isu