PROLOG

Ilustrasi Pemilu 2024

Pemilu 2024:
Komitmen Jalankan Putusan MK

Nafas demokrasi prosedural di Indonesia kembali diuji. Setelah
lebih dari sepuluh tahun, Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia
meninggalkan Sistem Proporsional Tertutup, kini sistem tersebut
diupayakan untuk berlaku kembali melalui pengujian di meja
peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah masyarakat. Para
Hakim MK diminta untuk menguji materi yang ada dalam UU Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengamanatkan pemilu dilakukan
melalui Sistem Proporsional Terbuka.

Kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke MK tersebut adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI Perjuangan (PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon ini mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Dikutip dari laman MK, para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak (terbuka), telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik, dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Apapun keputusan MK nantinya menjadi menarik untuk disimak. Sebab putusan MK tersebut akan berimplikasi banyak hal yang bersifat struktural, di antaranya adalah revisi UU Pemilu beserta aturan turunan di bawahnya seperti Peraturan KPU dan Bawaslu, hingga implikasi terhadap hitung ulang anggaran pemilu oleh pemerintah.

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Meskipun demikian, bagi partai yang pro terhadap Sistem Proporsional Terbuka memiliki dalil konstitusional yang didasarkan pada UUD 1945 amandemen keempat Pasal 1 Ayat (2), yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Argumentasi tersebut dipahami sebagai kerangka umum (frame work) bahwa rakyat dapat menentukan langsung para wakilnya di legislatif, baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota secara terbuka.

Sistem ini dinilai lebih mengedepankan asas keterbukaan dan profesionalisme bagi para calon legislatif. Mereka terpilih bukan karena kedekatan personal dengan pengambil keputusan di internal partai, melainkan murni karena kehendak mayoritas masyarakat yang memilihnya. Sistem ini memungkinkan juga agar rakyat mengetahui kepada siapa aspirasi akan dititipkan kelak ketika sudah terpilih menjadi legislator. Kedekatan antara caleg dengan rakyat yang akan memilihnya inilah yang dinilai menjadi poin keunggulan Sistem Proporsional Terbuka ketimbang Sistem Proporsional Tertutup.

Meskipun demikian, di balik perdebatan akademik mengenai sistem pemilu apa yang ideal untuk dijalankan di Pemilu 2024, MK memiliki kewenangan konstitusional yang bersifat final dan mengikat (binding), salah satunya untuk menguji UU atas UUD. Setiap pasal yang diuji oleh pemohon pun akan mengundang pihak-pihak terkait untuk mendapatkan penjelasan secara utuh. Termasuk, penjelasan raison d’etre dari DPR selaku pembuat UU untuk menetapkan menggunakan Sistem Proporsional Terbuka di setiap pemilu.

Apapun keputusan MK nantinya menjadi menarik untuk disimak. Sebab putusan MK tersebut akan berimplikasi banyak hal yang bersifat struktural, di antaranya adalah revisi UU Pemilu beserta aturan turunan di bawahnya seperti Peraturan KPU dan Bawaslu, hingga implikasi terhadap hitung ulang anggaran pemilu oleh pemerintah.

Selain DPR, MK juga akan mengundang pihak-pihak terkait yang memiliki legal standing langsung dalam Pemilu 2024, yaitu para fungsionaris partai yang telah ditetapkan KPU akan menjadi peserta dalam pemilu, baik partai yang telah memiliki wakilnya di legislatif (partai parlemen) maupun partai yang belum memiliki wakilnya di legislatif (partai non parlemen). 

Apapun keputusan MK nantinya menjadi menarik untuk disimak. Sebab putusan MK tersebut akan berimplikasi banyak hal yang bersifat struktural, di antaranya adalah revisi UU Pemilu beserta aturan turunan di bawahnya seperti Peraturan KPU dan Bawaslu, hingga implikasi terhadap hitung ulang anggaran pemilu oleh pemerintah. Putusan MK ini juga akan menentukan apakah jika terjadi perubahan sistem pemilu tersebut, dapat dilakukan pada Pemilu 2024 atau akan dilakukan penyesuaian secara bertahap di pemilu-pemilu berikutnya.

Apapun putusan MK nantinya, semua pihak terkait, mulai dari eksekutif, legislatif, hingga penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) final untuk mengikuti keputusan tersebut. Tidak hanya mengikuti, namun para pihak terkait juga harus mengawal keputusan MK sebagai lembaga yudikatif pemilik keputusan tertinggi dalam suatu negara. Sehingga, keputusan yang diambil dapat mengakomodasi dua hal: antara kepentingan rakyat untuk memberikan suara, dan kepentingan konstitusi untuk menjalankan demokrasi tetap dalam koridor hukum. tim/mh

Infografis Tahapan Pemilu 2024

PROLOG

LAPORAN UTAMA

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *