PENGAWASAN
Polemik Impor
Gerbong KRL Bekas
Awal Maret lalu, polemik impor gerbong kereta rel listrik (KRL) mengemuka. PT. Kereta Cummuter Indonesia (KCI) sempat mengajukan impor KRL bekas dari Jepang. Namun, Komisi VI DPR RI tak menyetujui. Bahkan, Kementerian Perindustrian juga tak suka KRL bekas, selama masih bisa diproduski di dalam negeri.
KCI dinilai terburu-buru, bahkan tiba-tiba mengajukan impor gerbong bekas kepada pemerintah dan DPR. Padahal, bila pengajuannya diajukan beberapa tahun sebelumnya, industri di dalam negeri mampu memproduksinya untuk kebutuhan transportasi publik. Saat ini, ada 10 unit rangkaian KRL untuk rute Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang bakal pensiun pada 2023 ini.
Plus, pada 2024 nanti, masih ada 19 unit lagi yang ikut pensiun. Semua ini dampak dari penolakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang menolak semua usulan impor PT KCI. Kemenperin sendiri sudah menyerukan PT. KCI, agar membeli produk PT. Industri Kereta Api yang mampu memproduski gerbong kereta. Dengan kondisi penolakan ini, PT. KCI pun terancam tak bisa mengganti 10 unit rangkaian KRL tahun ini dan 19 unit lagi tahun depan.
Anggota Komisi VI DPR RI Suryadi Jaya Purnama dalam keterangan persnya yang diterima Parlementaria, awal Maret lalu, menyesalkan permasalahan ini dan meminta PT. KCI dan Kemenperin tidak saling lempar tanggung jawab. Akibat penolakan Kemenperin ini, pengadaan rangkaian KRL jadi terkendala dan diperkirakan sejumlah stasiun KRL Jabodetabek seperti Stasiun Manggarai makin terbebani bila rangkaian kereta berkurang.
Hal ini disebabkan masa tunggu antarkereta semakin lama, sehingga efeknya stasiun dan keretanya itu sendiri akan semakin padat dan semrawut. “Dampaknya, dapat mengakibatkan penumpukan lebih dari 200 ribu penumpang per hari. Ujung-ujungnya, masyarakat mengalami kerugian dari kurang sigapnya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan ini,” tegas SJP, sapaan akrab Suryadi Jaya Purnama.
Menurut SJP, hambatan pengadaan tersebut juga berpotensi menggerus kapasitas angkut KRL Jabodetabek yang saat ini mencapai 1,2 juta penumpang per hari. Sedangkan untuk melayani 1.081 perjalanan per hari, termasuk rute pengumpan, KCI membutuhkan minimal 96 rangkaian kereta. Jika jumlah rangkaian berkurang, pasti mempengaruhi layanan. “Sekarang saja penumpang sudah berdesakan. Kementerian Perhubungan sendiri telah meningkatkan target jumlah penumpang KRL Jabodetabek menjadi 2 juta orang per hari,” terang SJP.
Di tengah polemik impor gerbong KRL dari Jepang itu, legislator Dapil Nusa Tenggara Barat I ini, menguslkan, selain dibutuhkan penambahan jumlah armada KRL, juga peremajaan sejumlah rangkaian KRL. “Selain mengimpor rangkaian KRL eks Jepang sebanyak 29 unit pada tahun 2023-2024, KCI telah berkomitmen membeli 16 rangkaian KRL baru buatan INKA senilai Rp4 triliun. Kontrak pengadaan kereta buatan domestik itu baru akan diteken pada Maret 2023, tapi selesai produksinya pada tahun 2025-2026,” ungkap SJP.

Dampaknya, dapat mengakibatkan penumpukan lebih dari 200 ribu penumpang per hari. Ujung-ujungnya, masyarakat mengalami kerugian dari kurang sigapnya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan ini
Suryadi Jaya Purnama
Anggota Komisi VI DPR RI
Jadi, dalam 5 tahun mereka sampaikan ke kami, butuh sekian gerbong, akan kami kawal industri untuk siap. Jangan ujuk-ujuk,
terus kemudian kami diminta impor barang
bekas, terus kami yang disalahkan, kan, gitu.
Agus Gumiwang Kartasasmita
Menteri Perindustrian

Namun, upaya KCI melakukan peremajaan menemui kendala berupa dana, waktu, dan masalah perizinan. Dari sisi pendanaan, pengadaan 16 KRL baru dari INKA mencapai Rp4 triliun. Sementara, untuk impor 10 KRL eks Jepang hanya membutuhkan biaya Rp150 miliar. “Selain itu waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan KRL baru dari INKA mencapai 34 bulan, sementara untuk impor dari Jepang hanya membutuhkan waktu 12 bulan,” tutut SJP.
Ia melanjutkan, “KRL baru buatan INKA harganya 20 kali lebih mahal dari KRL eks Jepang. Meskipun nantinya dapat digunakan 3 atau 4 kali lebih lama daripada KRL eks Jepang yang hanya dapat digunakan selama 10 hingga 15 tahun saja.”
Sebagai solusinya, SJP berpendapat, perlu jalan tengah. Misalnya, KRL bekas dapat diimpor sementara tetapi harus diiringi peningkatan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) melalui proses rekondisi secara lokal, agar dapat memenuhi persyaratan BMTB (barang modal dalam keadaan tidak baru) di atas.
“Pemerintah juga dapat menetapkan sistem kuota KRL bekas, misalnya hanya 25 persen dari kebutuhan dan hanya untuk jangka pendek. Kuota tersebut dapat secara bertahap semakin diturunkan dari tahun ke tahun, sementara kapasitas produksi INKA semakin ditingkatkan,” pungkas politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Sementara Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita seperti dikutip dari cbbcindonesia.com mengungkapkan, pihaknya kecewa, karena menjadi sasaran kekecewaan masyarkat atas larangan impor gerbong bekas dari Jepang. Persoalannya, PT. KCI secara tiba-tiba mengajukan impor dalam waktu yang sempit. Bila saja pengajuan pengadaan gerbong baru diajukan beberapa tahun sebelumnya, pasti Kemenperin segera mendukung dengan memproduksi gerbong-gerbong baru buatan dalam negeri untuk mengganti gerbong lama yang harus sudah direvitalisasi.
“Jadi, dalam 5 tahun mereka sampaikan ke kami, butuh sekian gerbong, akan kami kawal industri untuk siap. Jangan ujuk-ujuk, terus kemudian kami diminta impor barang bekas, terus kami yang disalahkan, kan, gitu,” katanya di kantor Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, awal Maret lalu.
Ia menyebut, saat ini jadi momentum emas bagi industri di dalam negeri untuk mereformasi sektor perkeretaapian nasional. Produksi dalam negeri diharapkan bisa berjalan dengan baik. Sementara Indonesia sendiri sudah melakukan impor kereta bekas sejak 23 tahun yang lalu. “Kalau saya buka berapa yang sudah, mereka impor selama ini, kan kita agak kecewa juga,” seraya menambahkan, “Makanya, saya bilang itu momentum emas kita di sektor kereta api. Ini hikmah untuk saya dan Kemenperin. Jadi, betul bisa bedah apa yang terjadi di sektor perkeretaapian.” rnm/mh