LEGISLASI

RUU PPRT
Penantian Panjang, Jutaan PRT
Harapkan Keadilan

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) telah secara sah menjadi RUU Usul Inisiatif DPR. Pengesahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna yang dipimpin Ketua DPR RI Puan Maharani pada Selasa (21/3) silam. Puan berharap pasca disahkannya RUU PPRT ini menjadi usul inisiatif DPR, maka penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU ini dapat satu visi dengan pemerintah.

Ketua DPR RI Puan Maharani saat mengesahkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna. FOTO: RUNI/NR
Ketua DPR RI Puan Maharani saat mengesahkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna. FOTO: RUNI/NR

“Setiap undang-undang itu harus satu visi karena memang pembahasannya tidak hanya DPR saja, tidak hanya pemerintah saja, namun melibatkan kedua belah pihak. Kami kedepankan dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang itu, bagaimana undang-undang itu berkualitas, bermanfaat, dan tidak menimbulkan polemik,” tutur politisi Fraksi PDI Perjuangan ini kala itu. 

Jika menilik beberapa tahun silam, RUU ini sebenarnya sudah mulai muncul menjadi salah satu inisiatif dari tiga fraksi di tahun 2004, yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PAN, dan Fraksi PKB. Dalam sejarah proses legislasi di DPR, dapat dikatakan bahwa RUU ini merupakan RUU terlama yang dibahas hingga akhirnya mendapatkan persetujuan menjadi RUU Usul Inisiatif DPR di 2023 ini (lihat infografis). 

Bahkan, dukungan untuk mempercepat pembahasan RUU PPRT ini juga datang dari Istana Negara. Dalam merespon desakan publik di awal 2023, akhirnya Kantor Staf Presiden membentuk gugus tugas percepatan RUU PPRT. Bahkan, Presiden Jokowi saat itu, memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Ketenagakerjaan untuk segera berkoordinasi dan berkonsultasi dengan DPR terkait RUU PPRT. 

Amanat Konstitusi 

Jika merujuk pada amanat bernegara yang ditegaskan dalam konstitusi, maka tujuan dari hadirnya negara, satu di antaranya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Perlindungan tersebut, tidak terbatas pada aspek jasmani, tapi juga rohani; tidak hanya untuk warga negara yang ada di dalam negeri, tapi juga mereka yang berada di luar negeri dalam statusnya sebagai apapun, termasuk yang berprofesi sebagai Pekerja Migran Indonesia, khususnya pekerja rumah tangga. 

Karena itu, Anggota Badan Legislasi DPR RI, Luluk Nur Hamidah menegaskan, RUU PPRT ini memegang peran kunci untuk melindungi nasib jutaan PRT Indonesia beserta keluarganya, baik yang bekerja di dalam negeri maupun luar negeri. Termasuk, RUU ini didesain menjadi lex specialis yang terpisah secara khusus dari UU yang sudah eksis dan lex generalis berlaku sejauh ini, seperti UU KUHP. 

“Jadi dari sekian banyak, baik itu korban kekerasan, pelecehan seksual, bahkan pemiskinan karena banyak PRT yang digaji sekenanya, ditahan, tidak dibayarkan, dan seterusnya. Maka bagi saya kekerasan ini sudah cukuplah,” ujar politisi Fraksi PKB ini. 

Di sisi lain, ia pun juga menegaskan bahwa RUU ini nantinya tidak hanya menekankan pada hak dan kewajiban PRT, namun juga pihak pemberi kerja maupun penyalur PRT, baik yang bersifat yayasan maupun perusahaan. Sehingga, penekanan dari RUU ini adalah hadirnya semangat untuk win-win solution dari tiga aspek yang berkaitan langsung dengan PRT tersebut. 

Dengan demikian, jika dalam ranah perusahaan swasta, seorang karyawan terlindungi melalui aturan yang bersifat Hubungan Industrial (tripartit), maka di dalam ekosistem kerja PRT juga terlindungi dengan adanya RUU ini. “Sehingga, ini punya kepastian dengan hak kewajiban apa, siapa melakukan apa, apakah itu hak yang diatur kepada pemberi kerja maupun juga kepada PRT,” tegasnya. 

Turut hadir sejumlah kalangan aktivis perempuan dari berbagai LSM, komunitas yang fokus pada isu hak pekerjarumah tangga, dan perwakilan PRT. FOTO: TIARA/NR
Turut hadir sejumlah kalangan aktivis perempuan dari berbagai LSM, komunitas yang fokus pada isu hak pekerja rumah tangga, dan perwakilan PRT. FOTO: TIARA/NR

Tidak Campuri Ranah Privat 

Meski demikian, di tengah dinamika yang terjadi, muncul anggapan bahwa RUU ini terlalu jauh mengatur urusan domestik (rumah tangga) tiap orang yang bersifat privat. Hal itu lantaran selama ini praktik penggunaan jasa PRT jamaknya berasal dari kalangan internal keluarga, atau lingkup internal institusi keagamaan, seperti pesantren. Sehingga, dikhawatirkan RUU ini nantinya akan overlapping dengan pengaturan lain yang sudah lebih dahulu eksis, pun membuat bias antara ranah privat dan publik. 

Menanggapi itu, Luluk menegaskan bahwa justru dengan masuknya negara ke dalam persoalan privat ini akan melindungi segenap harkat dan martabat bangsa. Bahwa tidak boleh ada ruang yang memungkinkan munculnya tindak pidana, meskipun di ranah domestik sekalipun, baik yang bersifat kekerasan seksual, penganiayaan, eksploitasi pekerjaan, hingga perbudakan.

Anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah saat menyerahkan berkas persetujuan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR RI. FOTO: ARIEF/NR
Anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah saat menyerahkan berkas persetujuan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR RI. FOTO: ARIEF/NR

Justru dengan hadirnya RUU PPRT ini, situasi kerja bagi PPRT menjadi lebih rasional dan formal. Karena hak dan kewajiban PRT terlindungi, termasuk mereka mendapatkan kesempatan meningkatkan keterampilan, jam kerja dan penghasilan yang jelas, hingga informasi pemberi dan penyalur kerja yang diatur dengan tegas. “Apapun yang namanya situasi kerja harus ada pengaturan. Kalau tidak, maka akan ada eksploitasi,” ujar Luluk. 

Meskipun demikian, Luluk memahami bahwa di lingkup-lingkup tertentu, seperti institusi keraton maupun pesantren, sering dijumpai masyarakat yang ‘mengabdi’ kepada tokoh yang dihormati dalam institusi tersebut. Menurutnya, hal ini tidak dapat masuk dalam pengaturan RUU PPRT. Sebab, para abdi dalam maupun santri yang bekerja tersebut tergolong pengabdian, yang relasinya bersifat kultural sosial-budaya, bukan struktural-formal. 

“Seperti juga di dalam keluarga. Ketika dia melakukan kerja di sebuah keluarga, tidak niatkan di awal, tidak ada pula akad sebagai PRT, maka dia tidak termasuk yang diatur dalam RUU ini,” ujar Luluk. 

Pandangan ini sama seperti yang disampaikan Willy Aditya. Wakil Ketua Baleg DPR RI itu pun menegaskan masuknya RUU PPRT ke ranah domestik akan meminimalisasi potensi perbudakan yang kerap dialami PRT selama ini. Kenyataan bahwa pekerjaannya berada di ruang domestik membuat akses perlindungan terhadap para pekerja menjadi sangat terbatas. Untuk itu, ia menegaskan, sangat penting RUU ini hadir dan menjadi payung hukum yang kokoh bagi para pekerja rumah tangga. rdn/mh

ANGGARAN

FOTO BERITA

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *