LAPORAN UTAMA

Komisi II DPR dan KPU Komitmen Dengan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

Pro dan kontra sistem Pemilu 2024 antara proporsional terbuka vs tertutup menjadi perbincangan hangat jelang Pemilu 2024 mendatang. Publik dikejutkan dengan suasana politik dalam negeri yang kurang “adem ayem” dari akhir Desember 2022 hingga awal Januari 2023. Hal ini dipicu bergulirnya wacana sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik seiring gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan, ada kemungkinan sistem Pemilu 2024 akan kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Hal tersebut dia sampaikan pada acara Catatan Akhir Tahun KPU di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, akhir Desember 2022 lalu. Hasyim saat itu mengatakan sistem tersebut sedang dibahas melalui sidang MK.

Sontak, wacana menggunakan sistem proporsional tertutup pada Pemilu legislatif 2024 menuai pro dan kontra di tengah masyarakat tak terkecuali antarfraksi/partai politik di parlemen yang kemudian terbelah dalam menyikapi munculnya isu tersebut. Di DPR RI, PDIP menjadi partai pendukung utama dan hanya satu-satunya parpol yang mengusulkan sistem proporsional tertutup. Sementara itu, 8 fraksi lain, yaitu Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, PAN, Demokrat, dan PKS tetap ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka.

Sebagaimana diketahui, dalam sistem proporsional terbuka, keterpilihan calon legislator ditentukan oleh dukungan rakyat dengan metode suara terbanyak. Sementara itu, merujuk istilah politik, sistem proporsional tertutup merupakan sistem pemilu di mana keterpilihan wakil rakyat didasarkan pada nomor urut yang ditentukan oleh partai politik. Pemilih hanya memilih partai politik dan penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.

Redam Situasi
Menyikapi hal itu, Komisi II DPR RI langsung menggelar rapat dengan KPU, Menteri Dalam Negeri, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), awal Januari lalu, untuk meredam situasi. Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung ingin memastikan semua tahapan Pemilu berjalan dengan baik dan tidak ada gangguan apapun, baik ekternal maupun internal. Termasuk, dari internal institusi penyelenggara Pemilu sendiri.

Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa
Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa

“Karena sangat tingginya atensi tersebut, maka banyak rumor yang harus kita jawab. Itulah kenapa, teman-teman di DPR, khususnya di Komisi II bereaksi mengambil sikap setiap kali ada pernyataan-pernyataan yang tidak pada tempatnya. Konteksnya bukan karena hal-hal lain, namun kita ingin proposional, kita ingin suasana kondusif, dan tidak menjadi polemik di publik. Kita juga perlu mengetahui per hari ini persiapan yang kita lakukan untuk Pemilu di tahun 2024 dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,” jelas politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Perdebatan Alot
Perdebatan alot sempat terjadi, hingga puncaknya saat masuk pada sesi terakhir yaitu, pembacaan kesimpulan rapat kerja. Ketua KPU Hasyim Asyari sempat mengusulkan agar narasi kesimpulan rapat tak perlu menyinggung sistem proporsional terbuka secara eksplisit, melainkan cukup dinyatakan “berkomitmen menjalankan Pemilu 2024 sesuai UU Pemilu” yang di dalamnya memang termaktub sistem proporsional terbuka.

Namun, Hasyim balik dicecar atas pernyataannya itu. Hasyim dinilai perlu menjadi sosok yang paling bertanggung jawab karena munculnya polemik sistem Pemilu ini usai pemberitaan terhadap pidatonya di Catatan Akhir Tahun KPU, Desember 2022, yang saat itu Hasyim mengomentari judicial review di MK terhadap pasal sistem proporsional terbuka UU Pemilu.

Kala itu, Hasyim mengimbau warga yang ingin maju sebagai calon legislator untuk menunda sosialisasi dirinya dalam bentuk baliho, spanduk, dan sejenisnya, karena ada peluang MK memutus tak lagi memakai sistem proporsional terbuka. Statemen secara sepihak ini menuai respons negatif dari mayoritas partai politik peserta pemilu. Hanya PDI Perjuangan yang mengaku setuju agar pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup.

Ucapan Hasyim kemudian ditafsirkan sebagai dukungan lembaga penyelenggara pemilu terhadap sistem tertentu, suatu hal yang sudah dibantah Hasyim berulang kali kepada wartawan dan dalam forum-forum resmi, termasuk dalam rapat kerja. Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa dari Fraksi Nasdem mengklaim bahwa akibat pernyataan Hasyim, banyak bakal calon legislator di akar rumput menunda rencana mereka menyosialisasikan diri. Akibatnya, tak sedikit partai politik yang kesulitan menjaring caleg.

Senada, Doli pun sempat menyatakan bahwa sebagai salah satu pimpinan partai politik, tersinggung atas komentar Ketua KPU itu. Seharusnya, menurut Doli, yang berhak tidaknya seorang caleg untuk sosialisasi dirinya dalam bentuk baliho, spanduk, dan sejenisnya adalah pimpinan partai politik, bukan KPU. Doli mengkritik KPU yang berbicara soal peluang pemilihan legislatif akan dilakukan secara proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Doli menilai KPU telah berbicara topik di luar kewenangannya.

Komitmen Sistem Terbuka
Perdebatan alot ini membuat rapat kerja berlangsung hingga 8 jam. Kesepakatan baru tercapai ketika muncul alternatif agar dibuat poin kesimpulan baru, yaitu poin 4 yang pada intinya menyatakan KPU tegas mendukung Pemilu 2024 mengacu pada UU No.7/2017 tentang Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka.

“KPU RI berkomitmen menyelenggarakan Pemilu Tahun 2024 berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam pasal 168 ayat 2 UU Pemilu dan dikuatkan oleh putusan MK RI nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, “ ujar Doli, membacakan salah satu dari enam butir kesimpulan.

Tak hanya itu, Komisi II DPR RI secara bersama dengan Menteri Dalam negeri, KPU RI, Bawaslu RI, DKPP RI bersepakat, pelaksanaan Pemilu 2024 tetap berdasarkan UU No.7/2017 tentang Pemilu. Sesuai dengan UU tersebut,

Merespon hal itu, KPU memastikan anggaran Pemilu 2024 masih menggunakan skema pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggaran tersebut sudah meliputi biaya untuk desain surat suara, alat perlengkapan pemungutan suara, dan sebagainya. Hasyim menyebut anggaran Pemilu telah disetujui dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) oleh Presiden Joko Widodo.
Hasyim selanjutnya membeberkan anggaran pemilu sebesar Rp8,061 triliun dan yang disetujui dalam DIPA sebesar Rp3,63 triliun. Selanjutnya untuk 2023, anggaran yang diajukan adalah sebesar Rp23,85 triliun dan yang disetujui Rp15,98 triliun. pun/mh

MK Diharap Libatkan Parpol
Dalam Judicial Review

Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan melibatkan partai politik (Parpol) dalam gugatan Judicial Review UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), dalam menetukan sistem pemilu di Tanah Air. Sistem proporsional terbuka masih ingin dipertahankan pada Pemilu 2024.

Pelibatan Parpol dinilai Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa penting dipertimbangkan oleh MK. Sebab, MK bisa mendengar pandangan partai dalam mengambil keputusan terhadap penerapan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2024. Melalui pandangan masing-masing partai, tentu MK bisa mempertimbangkan semuanya dalam mengambil keputusan.
“Sebab, DPR dan pemerintah sepakat tidak akan mengubah UU Pemilu. Kita nanti meminta MK mengikutsertakan parta-partai sebagai pihak terkait. Kita berharap MK nanti ketika berproses mendengar semua pihak di parlemen, karena kita ingin sistem proporsional terbuka di Pemilu 2024,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Parlementaria, Rabu (4/1/2023) lalu.
Lebih lanjut, Saan menegaskan pihaknya ingin sistem proporsional terbuka dipertahankan. Sebab, hal ini merupakan langkah maju penyelenggaraan demokrasi. Jika kembali ke proporsional tertutup, maka itu sebagai bentuk kemunduran demokrasi.

Sebab, DPR dan pemerintah sepakat tidak akan mengubah UU Pemilu. Kita nanti meminta MK mengikutsertakan parta-partai sebagai pihak terkait. Kita berharap MK nanti ketika berproses mendengar semua pihak di parlemen, karena kita ingin sistem proporsional terbuka di Pemilu 2024,

Saan Mustopa
Wakil Ketua Komisi II DPR RI
Saan Mustopa Wakil Ketua Komisi II DPR RI

Sistem proporsional tertutup dinilai tidak merepresentasikan sistem perwakilan. Mengacu pada penentuan anggota legislatif pada sistem proporsional terbuka ditentukan langsung oleh masyarakat pemilih, sedangkan pada proporsional tertutup tergantung partai. Sistem proporsional tertutup membuat masyarakat tidak mendapatkan hak untuk menentukan siapa wakil yang mereka anggap terbaik untuk mewakilinya.

Saan meminta penyelenggara pemilu termasuk KPU tidak menimbulkan ketidakpastian bagi parpol jelang Pemilu 2024. Saan pun mengecam pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang memunculkan spekulasi soal perubahan sistem pemilu terbuka menjadi tertutup. Sebelumnya kecaman senada dilontarkan Saan dalam keterangan resminya, menanggapi Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang membicarakan Pemilu 2024 kemungkinan kembali ke sistem proporsional tertutup. Saan menilai Hasyim sudah melampaui batas kewenangannya terkait pernyataan itu.

“Ketua KPU sudah melampaui batas kewenangannya dan bisa dikatakan melakukan intervensi terhadap perkara yang sedang berproses di MK. Sebab bisa dikatakan mengintervensi soal sistem proporsional tertutup yang kini perkaranya masih dibahas di MK. Dan bisa dikatakan melakukan intervensi terhadap perkara yang sedang berproses di MK,” tandas Saan.

Terkait hal itu, Saan kembali menyayangkan komentar Ketua KPU soal peluang pemilu sistem proporsional tertutup. Komentar tersebut diduga dapat menimbulkan kegaduhan politik jelang Pemilu 2024. “Pernyataan Ketua KPU ini menjadi salah satu sebab munculnya kegaduhan politik, lalu ada ketidakpastian politik bagi partai-partai,” tegas Saan.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Riyanta mengimbau Ketua KPU untuk fokus kepada tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)-nya saja dan agar sebelum menyampaikan opini atau pernyataan, dipertimbangkan dahulu dampak baik dan buruknya terhadap stabilitas hukum, politik, sosial, keamanan. MK sebelumnya melalui Putusan No.22-24/PUU-VI /2008 telah memberikan keputusan yang menjadi acuan bagi DPR RI bersama pemerintah untuk membuat dan menerapkan sistem pemilu terbuka pada Pemilu 2009 sampai dengan Pemilu 2019.

Riyanta Anggota Komisi II DPR RI

MK telah memutuskan bahwa sistem pemilu yang konstitusional adalah sistem pemilu terbuka dan putusan tersebut sudah final. Sehingga, hal tersebut menjadi acuan bagi DPR RI bersama pemerintah untuk membuat dan menerapkan sistem pemilu terbuka pada pemilu 2009 sampai dengan pemilu 2019 lalu.

Riyanta
Anggota Komisi II DPR RI

“Dinamika politik menjelang dilaksanakannya pemilu serentak pada tanggal 14 Februari 2024 meningkat. Hal ini lumrah dalam sistem negara demokrasi. Namun, sesuai dengan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum. Maka dinamika politik harus sesuai dengan hukum yang sudah disepakati oleh bangsa Indonesia,” ungkap Riyanta dalam keterangan resminya, awal Januari lalu.

Dalam hal ini, MK telah memutuskan bahwa sistem pemilu yang konstitusional adalah sistem pemilu terbuka dan putusan tersebut sudah final. Sehingga, hal tersebut ditegaskan kembali Riyanta menjadi acuan bagi DPR RI bersama pemerintah untuk membuat dan menerapkan sistem pemilu terbuka pada pemilu 2009 sampai dengan pemilu 2019 lalu.

“Ketua KPU sudah melampaui batas kewenangannya dan bisa dikatakan melakukan intervensi terhadap perkara yang sedang berproses di MK. Sebab bisa dikatakan mengintervensi soal sistem proporsional tertutup yang kini perkaranya masih dibahas di MK. Dan bisa dikatakan melakukan intervensi terhadap perkara yang sedang berproses di MK.”

Saan Mustopa wakil komisi II DPR RI

Hukum harus ditegakkan sesuai dengan prinsip dasar negara hukum (Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945), serta konstitusi sebagai “Kepala Negara” dan sebagai “Panglima.” Selain itu, persoalan permohonan judicial review tersebut ditegaskan Riyanta harus dipercayakan sepenuhnya kepada MK. “Yakinlah hakim-hakim konstitusi adalah manusia-manusia pilihan yang mempunyai integritas yang mulia,” tutup politisi Fraksi PDI Perjuangan tersebut.pun/mh

Kehendak Rakyat Dalam Konstitusi

Tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 sudah dimulai sejak Juni 2022 silam. Dimulai dengan Penyusunan Peraturan KPU, Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan Daftar Pemilih, hingga Penetapan Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan (Dapil)
hingga 9 Februari 2023.

Tahapan pemilu untuk menyongsong pesta demokrasi ini akan terus berlanjut hingga puncaknya pada 14 Februari 2024. Masyarakat menentukan kehendaknya sendiri untuk memilih calon presiden/wakil presiden, serta legislatif baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Aturan tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang saat ini eksisting, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilu 2024 mendatang merupakan penyelenggaraan pemilu serentak yang menggabungkan pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam proses menentukan suara itu, masyarakat dinilai memiliki kebebasan secara sadar untuk memilih wakilnya di parlemen, pusat hingga daerah. UU Pemilu tersebut mengamanatkan diselenggarakannya pemilu serentak melalui mekanisme Sistem Pemilihan Proporsional Tertutup.
Lalu, apa yang dimaksud dengan Sistem Proporsional Tertutup? Apa bedanya dengan Sistem Proporsional Terbuka? Studi literatur dari Jurnal UMY, Yogyakarta, menyebutkan, pada dasarnya Sistem Proporsional dapat dimaknai bahwa satu dapil memilih beberapa wakil. Sistem ini juga dinamakan perwakilan berimbang (multi member constituency). 

Kalau kita kembali kepada konstitusi itu, maka lebih tepat dilaksanakan penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Karena apa? Karena keterbukaan itu menyebabkan pilihan ibetul-betul berada di tangan rakyat, terhadap siapa yang akan dipilih menjadi pimpinan dari satu dapil menjadi anggota legislatif delegasi parpol itu.

Syamsurizal
Wakil Ketua Komisi II DPR RI

Terdapat dua jenis sistem dalam Sistem Proporsional, yaitu Sistem Proporsional Tertutup. Partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai, dan alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada. Sedangkan, Sistem Proporsional Terbuka, yaitu para pemilih diberi otoritas untuk menentukan pilihannya. Pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota yang sudah diatur sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Sepanjang sejarah pemilu, Indonesia pernah menggunakan Sistem Proporsional Tertutup, yaitu pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999. Selain pada pemilu di era Orde Lama dan Orde Baru itu, Sistem Proporsional Tertutup juga masih digunakan pada Pemilu 2004. Namun, Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008 membuat sistem ini tak lagi digunakan pada Pemilu 2009. Dalam putusannya saat itu, MK menilai pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka akan mendorong sistem yang positif.
Dalam sistem ini, penetapan daerah pemilihan dilakukan berdasarkan basis wilayah. Hal ini membuat setiap daerah akan memiliki wakil mereka masing-masing. Di sisi lain, MK juga menilai, apabila pemilihan dilakukan dengan memilih nama kandidat, hubungan antara orang yang memilih dan dipilih menjadi lebih dekat. Sistem ini membuat para pemilih dapat mengenal wakil-wakil mereka dan menilai siapa yang benar-benar memperjuangkan pemilih dan daerahnya. Di sisi lain, para kandidat akan menjaga kredibilitas mereka di depan rakyat yang memilihnya.
“Kalau kita kembali kepada konstitusi itu, maka lebih tepat dilaksanakan penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Karena apa? Karena keterbukaan itu menyebabkan pilihan betul-betul berada di tangan rakyat, terhadap siapa yang akan dipilih menjadi pimpinan dari satu dapil menjadi anggota legislatif delegasi parpol itu,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Syamsurizal.

Rifqinizamy Karsayuda Anggota Komisi II DPR RI

Termasuk, MK juga akan mempertimbangkan apakah keputusan menggunakan sistem pemilu tertentu akan diterapkan pada Pemilu 2024, atau pada penyelenggaraan pemilu berikutnya.

Rifqinizamy Karsayuda
Anggota Komisi II DPR RI

Kedaulatan Rakyat atau Parpol?
Meskipun demikian, penentuan Sistem Proporsional Tertutup bukan tanpa argumentasi. Sebab, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, partai politik merupakan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik untuk pemilu presiden dan wakil presiden.
Argumentasi ini menentukan bahwa partai politik memiliki kewenangan penuh untuk menentukan siapa calon yang akan diusung dan/atau diusulkan maju dalam pemilihan legislatif. Bahkan, partai atau gabungan partai juga memiliki kewenangan penuh pula untuk mengusulkan kandidat presiden dan wakil presiden yang akan diusungnya. Sehingga, dalam Sistem Proporsional Tertutup, kedaulatan rakyat hanya sampai pada menentukan parpol mana yang dinilai mampu mewakili aspirasinya.
Selanjutnya, internal di dalam parpol tersebut yang memutuskan siapa calon legislatif yang akan duduk di kursi parlemen pusat maupun daerah, melalui sistem nomor urut. Sistem ini dinilai hanya berdasarkan kedekatan antara caleg yang akan maju dengan pimpinan parpol yang menjadi penentu keputusan. Termasuk, diduga akan semakin memperkuat praktik oligarki di internal parpol karena keputusan bukan didasarkan pada objektivitas dan profesionalisme caleg, namun berdasarkan pada subjektivitas dan kedekatan personal caleg dengan pimpinan partai.
“Ini yang menyebabkan keberatan-keberatan masyarakat. Karena orang yang sudah dipilih selama ini dengan beberapa kali pemilu, mereka bisa masuk dan mendapat pendidikan politik, karena mereka masuk ke partai politik. Tapi, dengan sistem proporsional tertutup mereka kini tidak lagi bebas masuk ke partai tertentu,” tambah politisi Fraksi PPP ini. Jika ini secara kontinu terus berlanjut, menurutnya, masyarakat akan semakin dirugikan.
Sebaliknya, dengan Sistem Proporsional Terbuka, partai justru lebih mudah mendapatkan kader-kader terbaik untuk bekerja di parlemen yang sebelumnya sudah bekerja banyak di masyarakat. “Kalau partai ambil dari orang luar yang dipandang berkualitas oleh masyarakat, maka yang berkualitas yang duduk di DPR itu yang mewakilkan orang-orang yang dipandang masyarakat berkualitas. Ya, karena masyarakatlah yang tahu bagaimana kondisi orang dari mereka yang ada di keseharian masyarakat,” tegas wakil rakyat dapil Riau I ini.

Ketaatan Terhadap Konstitusi
Meskipun demikian, dialektika antara Sistem Proporsional Tertutup maupun Sistem Proporsional Terbuka ini merupakan hal yang dinamis, tergantung pada aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Karena itu, uji materil oleh pihak terkait terhadap penggunaan sistem tersebut pada Pemilu 2024 menjadi sah dan keputusan tertinggi berada di palu para hakim MK.
MK memiliki kewenangan untuk memutuskan sistem mana yang akan digunakan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, termasuk pula memutuskan untuk mengembalikan kewenangan menentukan sistem pemilu kepada pembuat undang-undang, yaitu DPR (open legal policy). Sebab, sejumlah pengamat menyebutkan, pilihan sistem pemilu untuk DPR dan DPRD tidak diatur jelas dalam konstitusi. Kewenangan MK terbatas sebagai pemberi rambu-rambu saat pembentuk UU ingin mengevaluasi sistem tersebut.
Konstitusi Negara Republik Indonesia dinilai tidak mengatur eksplisit pilihan sistem pemilu yang dianut untuk pemilihan DPR, DPRD, dan DPD. Hal ini berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden yang jelas diatur sistemnya. rdn/mh

MK Tidak Boleh
Punya Standar Ganda

Delapan fraksi di DPR RI saat menggelar Konferensi Pers untuk menolak rencana pemilu kembali digelar dengan sistem proporsional tertutup di Gedung Nusantara III.
Delapan fraksi di DPR RI saat menggelar Konferensi Pers untuk menolak rencana pemilu kembali digelar dengan sistem proporsional tertutup di Gedung Nusantara III.

Perbedaan pandangan mengenai sistem pemilihan umum (Pemilu) untuk 2024 mencuat belakangan ini. Hal ini dipicu oleh sebuah wacana akan diterapkan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik akibat ada yang menggugatnya di Mahkamah Konstitusi (MK). Menjadi lebih ramai, lantaran wacana ini dilontarkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, yang bahkan meminta para bakal calon legislatif tidak terburu-buru melakukan kampanye.

Di parlemen, PDIP menjadi partai pendukung utama dan hanya satu-satunya parpol yang mengusulkan sistem proporsional tertutup. Sementara delapan fraksi di DPR lainnya dengan tegas menolak itu. Puncaknya, Minggu, 8 Januari 2023 di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Mereka yang menolak, yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai NasDem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan melakukan pertemuan dan sepakat kokoh dengan pemilu terbuka.
Kedelapan fraksi ini kemudian berlanjut menyatakan sikapnya dengan Press Conference di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Rabu, (11/1/2023) lalu. Mereka bersama-sama membacakan pernyataan sikapnya untuk terus mengawal setiap proses gugatan di MK terkait pelaksanaan sistem pemilu. Salah satu poin pernyataan sikap ini meminta MK konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7/2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.
Hal ini juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi II sekaligus Politisi Fraksi PKB Yanuar Prihatin, yang menyatakan delapan fraksi di DPR menyatakan sikap terbuka menolak tertutup (proporsional) dan bertahan pada proporsional terbuka. “Sudah bisa kelihatan bahwa delapan fraksi tetap bertahan pada proporsional terbuka dan itu pasti akan kita sampaikan kepada KPU dan kepada pemerintah melalui Kemendagri untuk soal yang satu ini. Artinya, dari sudut pandang itu tidak ada masalah bahwa kita tetap komitmen dengan proporsional terbuka.” kata Yanuar
Dalam pandangannya, Yanuar menilai sistem pemilu proporsional tertutup akan berpotensi menutup kompetisi antarsesama kader dalam satu partai. Oleh karena itu ia berpandangan bahwa sistem itu, berbeda dengan sistem pemilu proporsional terbuka, berpeluang menghidupkan oligarki dalam tubuh partai politik. “Bagi partai politik yang punya tradisi komando yang kuat dan sedikit otoriter, sistem pemilu proporsional tertutup ini lebih disukai. Tertutupnya kompetisi antara sesama kader. Juga melahirkan para politisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah,” ujar Yanuar.
Lanjut Yanuar, jika ada pihak yang mengusulkan sistem proporsional tertutup, maka menurutnya, mereka ingin membawa musibah dan kecelakaan dalam demokrasi. Apalagi, jika MK turut melegalisasi sistem tertutup tersebut.  Oleh karena itu, ia meminta tidak ada satu pihak pun yang bermain-main dengan sistem kepemiluan yang sudah ada di Indonesia. Ia tak ingin, kegairahan dan partisipasi politik rakyat yang sudah terjadi melalui sistem pemilu proporsional terbuka, hilang karena sistem Pemilu tertutup.
“Kita semua sudah berinvestasi besar untuk menumbuhkan kegairahan dan partisipasi politik rakyat, memperkuat hubungan timbal balik antara rakyat dan wakilnya, serta membangun budaya kompetisi yang masih terukur,” jelasnya. Mengutip Wakil Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Yanuar menilai usulan penerapan proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 tidak logis.

Ratusan nyawa anak Indonesia, calon generasi penerus bangsa melayang, tapi informasi penyebabnya masih gelap dan sangat terbatas

Yanuar Prihatin
Wakil Ketua Komisi II DPR RI

Yanuar Prihatin Wakil Ketua Komisi II DPR RI

Legislator Dapil Jawa Barat X ini juga meminta MK menjaga integritasnya dan tidak menerapkan standar ganda dalam memberikan keputusan. Ia pun mengingatkan, MK pada tahun 2008 sudah memutuskan kasus yang serupa dan MK jugalah yang mendorong dari yang tertutup ke terbuka. Jika MK memutuskan Pemilu menjadi sistem tertutup maka akan menimbulkan tanda tanya besar bagi publik.
“Loh, kok, terhadap kasus yang sama, case yang kurang lebih sama, kenapa bisa ada standar ganda kalau nanti MK putuskan tertutup? Lantas ini apa masalahnya, masa konstitusi memberikan standar ganda terhadap kasus yang sama?” ulasnya penuh tanda tanya. Jika ditarik ke belakang, perdebatan penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup sebenarnya bukan hal yang baru. Hal ini sudah diperdebatkan ketika proses pembahasan UU No.7/2017 tentang Pemilu.
Perdebatan ini diakhiri dengan bulatnya sikap semua fraksi untuk menetapkan sistem proporsional terbuka sebagai sistem yang akan digunakan dalam Pemilu. Hal ini tertuang dalam Pasal 168 ayat (2) yang berbunyi “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”. Di sisi lain, Yanuar mengingatkan KPU bisa menjaga independensinya sebagai salah satu badan penyelenggara pemilu 2024 yang sudah mendapatkan mandat dari konstitusi.
Untuk itu, Yanuar meminta agar KPU bisa waspada dan menjaga integritasnya sebagai lembaga independen. Ia juga berpesan agar KPU bisa berpegang teguh pada aturan yang sudah ada. Hal ini juga sebagaimana poin pernyataan sikap yang sudah disampaikan kedelapan fraksi mengenai tugas KPU untuk bekerja sesuai amanat undang-undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapa pun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. we/mh

PROLOG

SUMBANG SARAN

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *