KUNKER KOMISI IV
Memberdayakan
Pembudidaya Nila

Para pembudidaya ikan nila harus kembali diberdayakan kembali. Perusahaan-perusahaan besar swasta yang beroprasi satu wilayah diimabu ikut mengembangkan budidaya nila tersebut. setidaknya inilah yang jadi perhatian Komisi IV DPR RI saat berkunjung ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini meminta para pelaku usaha seperti PT Amman Mineral Nusa Tenggara dan PT Sumbawa Timur Mining dapat bekerja sama dengan pembudidaya ikan nila untuk menjadi pemasok kebutuhan mereka. Selain itu, dia juga meminta para perusahaan menjadi offtaker agar pembudidaya ikan nila bisa makin berkembang.
“Jadi, perusahaan itu menjadi offtaker, begitu. Bagaimana supaya berkembang dengan baik,” tutur Anggia usai memimpin rapat Kunjungan Kerja (Kunker) masa reses Komisi IV DPR RI ke Lombok Tengah, Provinsi NTB, Jumat (17/2/2023) lampau. Tugas perusahaan, katanya, memberikan pemberdayaan, melakukan kualifikasi yang bagus, dan menjelaskan standarnya.
Komisi IV DPR RI kali ini mengunjungi gudang Bulog untuk memastikan ketersediaan beras, meninjau program 1.000 sapi desa, dan budidaya ikan nila. Sebelumnya, di waktu dan tempat berbeda, Anggia juga menyorot soal data ketersediaan beras. Dari hasil pantauannya, terdapat perbedaan informasi yang disampaikan, baik yang berasal dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) maupun dari Kementerian Pertanian (Kementan).
“Data (yang disampaikan) Bapanas menyatakan bahwa (persediaan) beras kita minus dalam waktu enam bulan ke depan. enam bulan ini kita akan minus. Sedangkan data yang disampaikan Kementan berdasarkan BPS, (persediaan beras) kita sudah surplus. Ini yang perlu kita gali lebih banyak, dan kita tadi lihat di lapangan benar memang tidak ada barangnya (beras),” ungkap Anggia saat memberikan sambutan dalam Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspik) Komisi IV DPR ke Kabupaten Jombang, Kamis (2/2/2023) lalu.
Komisi IV melihat ketersediaan beras di dua pabrik penggilingan padi di Jombang, baik yang berkapasitas produksi kecil maupun besar. Penggilingan padi yang dikelola Gapoktan Pojok Kulon memiliki kapasitas produksi gabah kering yang lebih kecil, yaitu hanya 15 ribu ton per hari. Sedangkan, kapasitas produksi PT SMK lebih besar, yaitu mencapai 350.000 ton per hari dengan mendatangkan gabah dari daerah lain.
“Yang harus dilihat apakah benar tidak ada berasnya? baik itu di petani, di lumbung, di penggilingan, atau di manapun penyimpanannya atau memang sengaja disembunyikan atau bagaimana,” urai politisi Fraksi PKB itu. Karena itu, ia menjelaskan, kalau misalnya kedua data yang berasal dua institusi itu sama-sama memiliki kebenaran, maka perlu dibangun komunikasi yang lebih baik. Sebab, beras ini masalah krusial yang harus ditangani, apalagi di tengah isu krisis pangan global.

“Isu ini harus kita tangani dengan baik. Kalau datanya salah, penyikapannya juga salah, nanti intervensinya salah, jangan-jangan nanti kita kekurangan pangan,” khawatirnya. Menanggapi itu, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi menerangkan, acuan data yang digunakan institusinya adalah data yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Ia berharap, tiap pihak tidak salah dalam menafsirkan data yang disajikan BPS tersebut.
“Mudah-mudahan dengan (penjelasan) ini tidak salah membaca data. Kami semuanya di Kementan gunakan satu data, BPS. Apakah kementerian mengumpulkan data? Kami pakai satelit internal tapi tidak dirilis. Ada data bulanan dari daerah? Ada. Tapi kami tidak rilis itu. Yang kami pakai adalah data BPS,” ujar Suwandi di kesempatan yang sama.
Sementara di Boyolali, Jawa Tengah, Komisi IV meninjau Unit Pengolahan Ikan Marine Biogel Indonesia, Sabtu (18/2/2023) lalu. “Kita melihat luar biasa sekali sisik ikan yang biasanya hanya menjadi limbah, ternyata bisa dijadikan suatu nilai tambah tinggi yang bisa diekspor, karena bisa menghasilkan kolagen. Masih banyak masyarakat kita yang belum mengetahui ini,” ujar Sudin saat memimpin delegasi Komisi IV di Boyolali.

Sudin menambahkan saat ini bahan baku yang digunakan masih mengandalkan dari sisik ikan impor, karena banyak masyarakat yang belum mengetahui manfaat dari sisik ikan ini. “Saat ini masih kurang sosialisasi perihal limbah sisik ikan. maka kami mendorong sosialisasi sisik ikan dari Indonesia. Semua dikumpulkan masing-masing kabupaten, kan, jadi cukup. Sekarang ini kurang lebih hanya 20% bahan baku domestik. Sedangkan 80% impor,” terang politisi Fraksi PDI Perjuangan tersebut.
Ke depan jika sudah banyak yang mengetahui manfaat sisik ikan, maka tidak langsung dapat meningkatkan perekonomian nelayan dan dapat pula diekspor ke mancanegara untuk menambah devisa negara. “Ini menjadi peluang Indonesia menambah devisa negara melalui sisik ikan yang dapat diolah menjadi kolagen lalu kemudian diekspor. Ke depan kita berharap sosialisasi dapat dimaksimalkan oleh pemerintah kepada para nelayan tentang sisik ikan yang bernilai,” tutupnya. aas, rdn, pdt/mh