PUU Bidang Polhukham Himpun Masukan Metode Crysis dengan Stakeholder Bali
- 0
- 3 min read
Kepala Pusat PUU Polhukham Lidya Suryani Widayati dalam foto bersama usai mengikuti FGD antara Tim Crysis dengan beberapa stakeholder di Bali, Selasa (17/10/2023). Foto: Arief/nr.
Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU) Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Polhukham) Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk ‘Membangun Komitmen Bersama Dalam Kolaborasi Pencegahan Political Corruption Berbasis Crisys’.
Kepala Pusat PUU Polhukham Lidya Suryani Widayati mengatakan FGD ini merupakan yang kedua kalinya ke daerah untuk menghimpun dan menerima masukan terkait dengan Corruption Risk Analysis (crisys) sebagai metode pencegahan political corruption.
Hal ini disampaikan Lidya saat mengikuti FGD antara Tim Crysis dengan beberapa stakeholder di Bali, baik dari unsur akademisi, eksekutif, maupun legislatif. Beberapa di antaranya, yaitu I Putu Suarta (Kabag Fasilitasi Peraturan Perundang-undangan Kab/Kota Sekretariat Daerah Provinsi Bali), I Gede Indra Dewa Putra (Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali) dan Putu Eva Ditayani Antari (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional)
“Dari masukan yang diterima dari salah satu narasumber, menyarankan agar Crysis diterapkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama Naskah Akademik. Yaitu, dalam muatan materi rancangan undang-undang, setiap naskah akademik ada bab yang mengatur tersendiri tentang RUU di situ. Nanti kriteria Crysis itu seperti apa, sudah diatur dalam materi muatan dalam rancangan undang-undang (dan) di naskah akademik. Termasuk juga bagaimana rumusan norma-norma di rancangan undang-undang juga sudah bisa menggunakan acuan crysis itu sendiri,” jelas Lidya kepada Parlementaria, di Bali, Selasa (17/10/2023).
Di tempat yang sama, Putu Eva Ditayani Antari, sebagai narasumber dari FH Universitas Pendidikan Nasional (UPN), mengapresiasi adanya kegiatan FGD ini. Hal ini mengingat kebutuhan partisipasi publik dan upaya perubahan undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan metode Crysis yang menjadi salah satu metode yang harus ditambahkan untuk mencegah penindakan dari tindak pidana korupsi, khususnya political corruption yang terjadi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Political corruption memiliki dampak yang jauh lebih besar karena yang dilakukan penyelewengannya adalah pada produk kebijakan hukum yang berdampak kepada masyarakat umum tidak hanya berdampak pada satu orang saja atau kerugian negara saja sehingga sifat kerugian yang ditimbulkan jauh lebih masif,” disampaikan Putu Eva Ditayani Antari.
Putu Eva juga menyampaikan kolaborasi Political corruption berbasis Crysis sangat penting. Menurutnya, partisipasi publik menjadi salah satu komponen penentu dari hasil kebijakan publik dan jika dikolaborasikan dari berbagai sektor dari berbagai pihak tentu akan mendapatkan berbagai pandangan masukan sehingga bisa menjamin efektivitas dalam pelaksanaannya.
“Pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan tidak hanya bermanfaat atau tidak hanya berasal dari pihak parlemen saja tetapi berasal dari masyarakat di mana parlemen akan menjadikan fasilitatornya dalam merumuskan kebijakan selanjutnya,” terang Eva.
Putu Eva Ditayani Antari juga berharap segala kekurangan yang sudah ditemukan dalam undang-undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan (UU PPP) bisa diperbaiki lebih dulu sebelum nanti dipermasalahkan oleh pihak lain dan sampai adanya judicial review di mahkamah konstitusi. “Proses pengawasan internal jauh lebih penting dibandingkan pengawasan eksternal dan menjamin validitas dari lembaga itu sendiri,” pungkas Eva.
Diketahui, Corruption Risk Analysis (crisys) merupakan salah satu metode selain adanya Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 13 tahun 2022 yang merupakan perubahan UU Nomor 12 tahun 2011.
Kolaborasi Crysis dibutuhkan karena tanggung jawab tidak hanya di DPR tetapi karena peran pembentukan peraturan perundang-undangan juga ada di pemerintah, DPD, DPRD dan ada di pemerintah daerah.
Metode Crysis sudah diterapkan oleh beberapa negara yaitu negara rusia Albania, Italia Portugal dan Korea Selatan, sementara di Indonesia PPATK dan KPK menggunakan ‘corruption risk assessment’.
Corruption risk assessment digunakan untuk peraturan yang sudah ada. Sementara, Crysis digunakan untuk memitigasi risiko atau menganalisis norma-norma dalam tahap penyusunan terutama penyusunan RUU sehingga semua dicegah semenjak dari awal tahap penyusunan. •afr/rdn
- MKD
- Seputar Isu